REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khawlah binti Yahya masih berusia 19 tahun ketika dirinya mempelajari buku-buku tiap agama, Alquran menjadi salah satunya. Dia mengaku, pembelajaran itu untuk menemukan kebenaran, meski yang ia pelajari tak menggugah imannya.
Ketika dirinya meminjam Alquran dari perpustakaan, di beberapa pekan awal ada banyak ayat yang disukai. Namun, ada banyak hal yang tidak dimengerti, sehingga Alquran pada saat itu bukan pilihannya.
"Islam tidak ada artinya bagi saya," kenangnya berkelakar seperti dilansir About Islam, Rabu (5/8).
Dia bercerita, empat tahun berlanjut setelah kejadian itu dirinya telah mendapat pekerjaan mapan dengan segala kemewahannya. Hingga suatu hari dirinya berbincang dengan kawan Muslim di balkon.
Menurutnya, meski teman itu Muslim, dia mengaku hanya sedikit kebiasaan Muslim yang dilakukannya. Sebaliknya, temannya hanya berharap anaknya kelak akan dibesarkan sebagai Muslim yang taat.
Khawlah menyangkal pernyataan itu. Menurut dia, konsep surga dan neraka terlalu dibuat-buat. Hal itu diakuinya karena Islam tidak akan pernah menjadi jalannya. Khawlah juga menegaskan pada saat itu dirinya tidak akan menjadi Muslim.
"Never say never, jawab teman saya. Saya menganggukkan kepala dengan penuh semangat. Dan saya bilang tidak pernah,’’ ucapnya.
Waktu berselang, dirinya menemukan buku kecil di mobil temannya dan memasukkan ke kantongnya setelah bertanya. Sesampainya di rumah dan tidur, dia mendapatkan mimpi terburuk yang pernah dialami. Ia juga masih ingat ketika bangun dan penuh dengan ketakutan disertai keringat.
"Dalam mimpi, saya berdiri di ruang gelap dan dikelilingi oleh binatang hitam besar yang terengah-engah. Aku bisa merasakan napasnya yang menjijikkan dan merasakan dadaku hancur," ujarnya.
Merasa tak enak, ia sadar dirinya terbangun dan telah sampai di ruang tamu dekat dengan rak ia menyimpan buku kecil temannya. Ia mengaku terkejut ketika lembaran buku kecil yang dibuka secara acak itu langsung mendefinisikan mimpi buruk.
"Itu adalah Benteng Muslim, sebuah buku doa Islam, dan sambil memegangnya erat-erat di dadaku, aku berlari kembali ke tempat tidur dan menyalakan lampu di samping tempat tidurku," ungkap dia.
Keesokan harinya, teman perempuannya meminta untuk ditemani datang ke kuliah Islam mingguan. Meski tak tertarik datang, ia merasa harus pergi ke pertemuan tersebut.
Sesampainya di sana, Khawlah menggambarkan beberapa gadis duduk di lantai. Mereka mengobrol, sedang sebagian memakai syal, lainnya tidak.’ ’Obrolan mereka memudar ketika seorang wanita masuk. Hal pertama yang saya pikirkan adalah bagaimana dia terlihat seperti ibu saya, hanya saja ditutupi dengan jilbab,’’ kenangnya.
Dia melanjutkan, dalam kuliah tersebut dirinya menjadi sangat antusias, terlebih, pembicaraan yang difokuskan adalah ‘mimpi’.
Pintu Kebenaran
Beberapa bulan setelahnya, Khawlah lebih giat mempelajari literatur Islam dan menghadiri pertemuan. Ia mengaku memiliki keinginan mendalam untuk mendengarkan berjam-jam kajian Islam saat pulang kerja. Bahkan, kebiasaan Muslim seperti makan dengan tangan kanan dan hanya makanan halal juga dilakukannya.
"Orang-orang Muslim di sekitar saya memperhatikan dan terus berkata, "Katakan kesaksian iman Anda untuk masuk Islam, Anda bisa mengatakannya dengan saya, apa yang Anda tunggu?" kata dia.
Orang di sekelilingnya juga mengingatkan ancaman hukuman karena tidak sholat atau tidak menutup aurat dengan benar. Hal itu ia sebut sebagai hal yang mengganggu dan membuatnya kesal, alih-alih mengucapkan dua kalimat syahadat.
Namun, suatu sore ketika duduk sendiri, Khawlah menyebut ada perasaan sadar yang luar biasa, seolah olah hanya dirinya dan Allah yang mengetahui. Tak berlangsung lama, di dapur kecil itu, di salah satu Kota di Eropa ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi Muslim.
"Sejak tujuh tahun sebelumnya, kenapa kemudian saya pindah sejauh ini, dan kemudian mencoba menghalangi kehidupan saya untuk selamanya, pada hari yang ditakdirkan itu,’’ ucapnya.
Setelah menjadi Muslim, dirinya menjalankan sholat secara teratur dan memohon kepada Allah untuk dikuatkan mengenakan jilbab. Serta memohon diberi kekuatan agar bermanfaat bagi negara dan Muslim lainnya.
"Sebagai konsultan hubungan masyarakat, saya tidak mengenakan apa pun yang mewakili keyakinan baru saya. Setelah berdoa beberapa pekan, suatu pagi saya memutuskan mengenakan jilbab dan pergi bekerja," kenangnya.
Dia melanjutkan, di sore yang sama pada saat mengenakan jilbab, ia dipanggil pimpinan perusahaan dan diberi tahu kontraknya akan berakhir di pekan tersebut. "Untuk beberapa alasan, saya merasa marah dan kesal, kehilangan pekerjaan, sumber pendapatan dan mengkhawatirkan uang sewa dan mata pencaharian saya, namun, saya merasakan kedamaian yang aneh di dalam diri,’’ ungkap dia.
Meski demikian, ia menerimanya dan rehat ke Inggris selama setahun. Tak berselang lama dirinya menikah dan pergi haji, hingga akhirnya dikaruniai anak pertama.
Kebahagiaanya sebagai Muslim ia akui lengkap, utamanya ketika doa bermanfaat bagi Muslim lainnya tercapai dengan cara mendirikan dan terlibat dalam sebuah organisasi ’SISTER’ dan organisasi Keislaman lain. Ia mendirikannya, untuk mendukung perempuan yang membutuhkan dan agar diberi kesempatan untuk mengajar Quran, studi Islam dan menerbitkan buku serta artikel Islam.
"Saya masih, dengan rendah hati merasa ini adalah jawaban atas permohonan yang saya ulangi dan ulangi ketika saya masuk Islam. Jangan pernah bilang tidak akan pernah pada Islam." jelasnya.