REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Dwina Agustin, Antara
Kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron seakan memberikan harapan bagi masyarakat Beirut dan seluruh Lebanon. Ia berjalan menyusuri kawasan Gemmayzeh yang terkenal dengan bangunan antiknya, kini banyak bangunan di sana yang hancur atau tidak aman untuk ditempati.
Macron juga berbicara dengan penduduk Beirut yang terdampak ledakan. Tampak pula Macron mencoba menghibur dan menguatkan para korban.
Kehadiran Macron di tengah korban memang dibutuhkan korban. Ia adalah pejabat pertama yang menginjakkan kakinya di sana, sebelum pejabat setempat hadir setelah ledakan terjadi dua hari sebelumnya.
"Mereka sudah bertahun-tahun memanipulasi kami," ujar seorang wanita, yang ditemui Macron dalam kunjungannya bertemu rakyat Beirut. "Saya ada di sana bukan untuk membantu mereka (pemimpin Lebanon). Saya di sini untuk menolong Anda," kata Macron, dikutip dari Aljazirah, Jumat (7/8).
Kepada Macron, warga bahkan berteriak meminta Prancis tidak memberikan dana bantuannya kepada pemerintah Lebanon. "Kamu adalah satu-satunya harapan kami," teriak warga lainnya.
Macron hadir dengan janji bantuan untuk Lebanon. Ia meyakinkan warga yang marah akibat ledakan bahwa tidak ada cek kosong yang akan diberikan kepada para pemimpinnya, kecuali mereka memberlakukan reformasi dan mengakhiri korupsi yang merajalela.
Berbicara pada konferensi pers di akhir kunjungan dramatis ke Beirut, Kamis (6/8), Macron menyerukan penyelidikan internasional terhadap ledakan dahsyat yang menimbulkan guncangan seismik yang dirasakan di seluruh kawasan. Ia mengatakan ledakan adalah sinyal mendesak untuk melakukan reformasi anti-korupsi yang diminta oleh warga Lebanon yang marah.
Macron mengatakan dia mengusulkan kepada otoritas Lebanon peta jalan reformasi mendesak untuk membuka miliaran dolar dana dari komunitas internasional. Macron mengatakan, dia akan kembali ke Lebanon pada September untuk menindaklanjuti.
"Jika reformasi tidak dilakukan, Lebanon akan terus tenggelam. Yang juga dibutuhkan di sini adalah perubahan politik. Ledakan ini seharusnya menjadi awal dari era baru," kata Macron.
Puluhan orang masih hilang setelah ledakan pada Selasa (4/8) di pelabuhan. Ledakan melukai 5.000 orang dan menyebabkan hingga 250.000 orang tidak memiliki rumah yang layak huni.
Insiden itu terjadi pada saat negara sudah terhuyung-huyung akibat kehancuran ekonomi dan lonjakan kasus virus corona. Sumber keamanan mengatakan jumlah korban tewas telah mencapai 145, dan para pejabat mengatakan angka itu kemungkinan akan meningkat.
Macron mengatakan Prancis akan menyelenggarakan konferensi bantuan internasional untuk Lebanon. Ia menjanjikan tata kelola yang transparan sehingga bantuan itu akan mengalir kepada rakyat, lembaga non-pemerintah, dan kelompok bantuan. Bukan kepada elit penguasa yang telah dituduh melakukan korupsi dan salah kelola.
Macron mengatakan kepada wartawan audit diperlukan pada bank sentral Lebanon. Audit bank merupakan salah satu perubahan mendesak yang perlu dilakukan.
Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, katanya, akan memainkan peran dalam setiap reformasi Lebanon. Pembicaraan Lebanon dengan Dana Moneter Internasional tentang paket penyelamatan terhenti karena kegagalan pemerintah untuk memberlakukan reformasi yang serius.
Selama kunjungannya, Macron bertemu dengan semua faksi politik Lebanon, termasuk kelompok Hizbullah dukungan Iran yang mendominasi politik Lebanon. Macron mendesak Hizbullah untuk menggunakan pengaruhnya guna menekan pemerintah agar melakukan reformasi dan memikirkan kepentingan Lebanon daripada kepentingan Iran.
Sebelumnya, dengan mengenakan dasi hitam untuk menunjukkan duka, Macron mengunjungi lokasi ledakan dan jalanan di Beirut yang hancur. Di lokasi itu, kerumunan warga yang marah menuntut rezim politikus Lebanon, yang mereka salahkan karena menyeret Lebanon ke dalam bencana, diakhiri.
"Saya jamin, bantuan (rekonstruksi) ini tidak akan jatuh ke tangan yang korup," kata Macron kepada kerumunan yang menyambutnya.
"Saya melihat emosi di wajah Anda, kesedihan, rasa sakit. Inilah mengapa saya di sini," katanya pada satu kelompok. Ia berjanji untuk menyampaikan kenyataan pahit kepada para pemimpin Lebanon.
Di kediaman duta besar Prancis, tempat seorang jenderal Prancis mendeklarasikan pembentukan negara Lebanon tepat 100 tahun yang lalu, Macron mengatakan Prancis tidak lagi bertugas untuk memberi tahu para pemimpin Lebanon soal apa yang harus dilakukan. Tetapi Macron mengindikasikan Prancis masih bisa memberi tekanan.
Kegagalan pemerintah untuk menangani anggaran yang membengkak, utang yang meningkat, dan korupsi yang meluas telah mendorong para donor Barat untuk menuntut reformasi Lebanon.
Di pelabuhan Beirut yang hancur akibat ledakan, keluarga-keluarga masih mencari kabar tentang orang hilang. Warga masih marah terhadap pihak berwenang karena mengizinkan sejumlah besar amonium nitrat yang sangat eksplosif disimpan di sana selama bertahun-tahun dalam kondisi tidak aman.
Pemerintah telah memerintahkan beberapa pejabat pelabuhan ditangkap dan menjalani penahanan rumah. Kantor berita negara NNA mengatakan 16 orang sudah ditahan.
Sumber pengadilan dan media lokal mengatakan Manajer Umum Pelabuhan Beirut Hassan Koraytem termasuk di antara mereka yang ditahan. Bank sentral mengatakan telah memutuskan untuk membekukan rekening Koraytem dan kepala bea cukai Lebanon serta lima lainnya.
Hakim Fadi Akiki, wakil pemerintah di pengadilan militer, mengatakan otoritas telah menginterogasi lebih dari 18 petugas bea cukai dan pelabuhan serta pihak lain yang terlibat dalam tugas perawatan di gudang.
"Sebanyak 16 orang ditahan sebagai bagian dari penyelidikan," kata Akiki seperti dikutip NNA. Akiki mengatakan penyelidikan masih berlangsung.
"Mereka akan mengkambinghitamkan seseorang untuk menangguhkan tanggung jawab," kata Rabee Azar, seorang pekerja konstruksi berusia 33 tahun. Ia berbicara di dekat sisa-sisa gudang biji-bijian pelabuhan yang hancur, dikelilingi oleh pecahan batu dan bangunan hancur yang rata dengan tanah.
Dengan bank-bank dalam krisis, mata uang yang runtuh dan salah satu beban utang terbesar dunia, Menteri Ekonomi Raoul Nehme mengatakan Lebanon memiliki sumber daya sangat terbatas untuk menangani bencana. Ia memperkirakan ledakan merugikan negara hingga 15 miliar dolar AS (sekitar Rp 217 triliun).
Tawaran internasional akan bantuan medis dan berbagai bantuan daruratlainnya telah mengalir sementara para pejabat mengatakan rumah sakit, yang beberapa di antaranya rusak parah akibat ledakan itu, tidak memiliki cukup tempat tidur dan peralatan.
Banyak warga Lebanon, yang kehilangan pekerjaan dan tabungan mereka menguap dalam krisis keuangan, mengatakan ledakan itu merupakan gejala kronisme politik dan korupsi yang merajalela di kalangan elit penguasa, dilansir dari Reuters.
Kamis (6/8) malam, pengunjuk rasa bentrok dengan pasukan keamanan Lebanon ketika demonstrasi anti-pemerintah di Beirut berlangsung. Petugas menyebarkan gas air mata ke puluhan orang di dekat parlemen.
Dikutip dari BBC, banyak orang di Lebanon mengatakan ledakan adalah wujud kelalaian pemerintah. Ledakan itu menghancurkan seluruh distrik di ibu kota, dengan rumah-rumah dan bisnis-bisnis berubah menjadi puing-puing dengan puluhan orang masih belum ditemukan.
Anggota parlemen, Marwan Hamadeh, mengundurkan sehari setelah ledakan, sementara Duta Besar Lebanon untuk Yordania, Tracy Chamoun, kemudian menyusul mengundurkan dengan mengatakan bencana itu menunjukkan perlunya perubahan dalam kepemimpinan.
Tim penyelamat terus mencari orang-orang yang masih menghilang dan pasukan keamanan telah menutup area yang luas di sekitar lokasi ledakan. Dua hari setelah ledakan, sebuah tim penyelamat Perancis yang bekerja di kota itu mengatakan masih ada peluang bagus untuk menemukan orang yang selamat.
Sementara itu, rumah sakit Beirut merasakan tekanan dari begitu banyak orang yang membutuhkan perawatan medis. Menteri Kesehatan Masyarakat, Hamad Hassan, mengatakan sektor kesehatan Lebanon kekurangan tempat tidur dan tidak memiliki peralatan yang diperlukan untuk merawat yang terluka serta pasien dalam kondisi kritis.
Lebanon juga perlu mengimpor sebagian besar makanannya karena kekhawatiran kekurangan pangan yang meluas. Hal ini melihat sejumlah besar biji-bijian yang disimpan di pelabuhan ikut hancur ketika terjadi ledakan.
Sebelum bencana ini, rumah sakit Lebanon sudah berjuang untuk mengatasi peningkatan infeksi Covid-19. Negara ini juga sedang mengalami krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975-1990 dan sering terjadi protes jalanan anti-pemerintah. Warga harus berurusan dengan pemadaman listrik setiap hari, kekurangan air minum yang aman, dan pelayanan kesehatan umum yang terbatas.