REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong peningkatan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri, salah satu industri smelter nikel. Kebijakan hilirisasi ini diyakini dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, di antaranya melalui capaian nilai ekspor.
“Maka itu, pentingnya peran industri smelter. Jadi, kita tidak lagi mengekspor ‘tanah dan air’ saja, tetapi sudah menjadi sebuah produk yang high-end,” kata Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII) Kementerian Perindustrian Dody Widodo lewat keterangan resmi di Jakarta, Jumat (7/8).
Dody menjelaskan, dalam upaya memacu daya saing industri logam dasar, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mengamanatkan tentang peningkatan nilai tambah melalui pengolahan sumber daya mineral.
“Sehingga produk yang diekspor memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor produk mineral hasil pertambangan,” tuturnya.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang diturunkan dalam pembentukan peraturan pelaksana berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Alam.
Implementasi regulasi tersebut di antaranya mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
Kemudian, menekankan pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam dalam rangka peningkatan nilai tambah industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, serta jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri dalam negeri.
“Dewasa ini, industri smelter nikel yang menghasilkan nickel pig iron(NPI), feronikel, nikel hidrat dan stainless steel telah tumbuh pesat. Hingga saat ini, telah beroperasi sekitar 19 smelter yang tersebar di Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara,” ungkap Dody.
Bahkan, sudah ada yang dalam proses pembangunan smelter nikel yang mengolah nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai yang berlokasi di Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Banten.
“Berdasarkan data BPS, pada tahun 2018 dan 2019, nilai ekspor produk industri logam berbasis nikel berturut-turut mencapai 4,8 miliar dolar AS dan 7,08 miliar dolar AS atau meningkat 47,5 persen,” sebutnya.
Besarnya kontribusi industri smelter nikel tersebut, lanjut Dody, perlu didorong untuk pengembangan hilirisasi produknya.
“Diharapkan smelter nikel tidak hanya melakukan ekspor dalam bentuk NPI maupun bahan baku baterai, tetapi dalam bentuk produk lebih hilir seperti produk hilir berbahan baku stainless steel dan baterai listrik,” imbuhnya.
Melihat potensi dari peran industri smelter nikel di tanah air, Kemenperin memberikan apresiasi atas terbentuknya Forum Nikel Indonesia (FINI).
“Diharapkan industri smelter nikel di dalam negeri dapat semakin berperan dalam pengembangan industri logam dasar dan produk hilir nikel,” ujar Dody.