REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah calon tunggal di 31 daerah diprediksi berpotensi melawan kotak kosong pada pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember 2020 mendatang. Anggota Komisi II DPR Guspardi Gaus mengaku prihatin dengan kondisi tersebut.
"Ini menurut saya merupakan preseden buruk dalam rangka pendidikan politik dan pendidikan demokrasi," kata Guspardi kepada Republika, Jumat (7/8).
Ia mengatakan tujuan dari pilkada adalah kompetisi tentang visi dan misi antarkepala daerah. Banyaknya calon tunggal tersebut menyebabkan tidak terwujudnya substansi pilkada.
"Karena yang dihadapi kotak, kotak artinya dia tidak punya otak, dia tidak punya visi dan misi, padahal kita punya penduduk terbesar, empat terbesar dunia," ujarnya.
Adanya kemungkinan calon tunggal di daerah 31 daerah tersebut membuktikan bahwa upaya untuk melakukan pendidikan politik, dan demokasi tersebut mengalami pasang surut dalam memilih pemimpin masa depan. Menurutnya perlu ada terobosan yang perlu dilakukan melalui undang-undang yang berkaitan pilkada atau pemilu.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni merekomendasikan perbaikan terhadap kondisi tersebut, salah satunya yaitu dihapusnya ambang batas pencalonan. Guspardi mengaku sependapat dengan usulan tersebut.
"PAN adalah partai inisiator terhadap bagaimana persyaratan itu tidak dipersulit," ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera. Mardani menganggap calon tunggal merupakan musibah bagi demokrasi.
"Kian banyaknya calon tunggal tanda demokrasi yang tidak sehat. Turunkan threshold untuk pilkada itu salah satu cara. Syarat 5-10 persen kursi sudah cukup. Itu memudahkan banyaknya partai mencalonkan pasangan," ucapnya.
Kemudian, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga menyayangkan meningkatnya jumlah daerah yang memunculkan calon tunggal. Namun demikian menurutnya hal tersebut tidak melanggar undang-undang.
"Dinamika politiknya memang seperti itu dan itu tidak melanggar undang-undang walaupun kita sangat sayangan fenomena yang terjadi seperti calon tunggal ini meningkat di pilkada seperti ini. Namun itu tergantung sekali pada masyarakat karena nanti kan calon tunggal bisa dipilih dan tidak, tergantung masyarakat yang akan melaksanakan pilkada di mana ada calon tunggal tersebut," katanya, Rabu (6/8) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. .
Menurutnya kemunculan calon tunggal tersebut tidak bisa hanya menyalahkan partai. Partai politik (parpol) terkadang dihadapkan pada dinamika yang membuat parpol yang tidak memiliki kursi cukup dalam mengusung calon terpaksa mendukung calon kepala daerah yang ada.
"Misalnya di satu tempat Gerindra hanya punya dua atau tiga kursi, nah itu kita serahkan pada pimpinan cabang masing-masing untuk membuat langkah yang diperlukan kemudian dikoordinasikan dengan DPP. Karena kan tidak mungkin kita menyia-nyiakan kursi atau tidak mendukung calon," tutur wakil ketua umum Partai Gerindra itu.
Sebelumnya Perludem memperkirakan, calon tunggal melawan kotak kosong akan terjadi di 31 daerah pada Pilkada 2020 mendatang. Daerah potensial itu terdiri dari 26 kabupaten dan lima kota dari 270 daerah yang menggelar pilkada serentak tahun ini.
"Tetapi ini masih bisa berubah karena masih sangat dinamis, tahu sendiri proses pencalonan di pilkada kita cenderung injury time," ujar Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini dalam diskusi virtual, Selasa (4/8).
Titi menyebutkan, dari 31 daerah, 20 di antaranya menunjukkan kecenderungan calon tunggal yang kuat. Titi memaparkan, 20 daerah itu antara lain Kota Semarang, Kota Surakarta/Solo, Kebumen, Grobogan, Sragen, Wonosobo, Ngawi, Wonogiri, Kediri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Blitar, Banyuwangi, Boyolali, Klaten, Gowa, Sopeng, Pematang Siantar, Balikpapan, dan Gunung Sitoli.