REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menepis anggapan bahwa pemberian bantuan kepada pekerja formal dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan menimbulkan kesenjangan lebih lebar. Ketua Satgas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi, Budi Gunadi Sadikin, justru menilai bahwa subsidi gaji pekerja ini mampu memperkecil jurang kesenjangan.
"Apakah ini akan memperbesar gap, antara yang dapat dan tidak, menurut kami akan memperkecil karena hampir semua segmen sudah diberikan, sudah tersentuh oleh program bantuan pemerintah yang lain. Segmen inilah yang belum tersentuh sehingga secara spesifik ini yang kami berikan," jelas Budi dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jumat (7/8).
Budi menambahkan, kelompok pekerja formal dengan gaji rendah merupakan celah yang selama ini belum sempat ditambal pemerintah dalam proses pemulihan ekonomi akibat Covid-19. Tentu saja, kelompok ini di luar pegawai BUMN dan PNS.
Kelompok pekerja formal dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan ini pun banyak yang terkena pemangkasan gaji akibat keuangan perusahaan yang seret. Kondisi ini lantas ikut menyumbang anjloknya konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi bahan bakar utama produk domestik bruto (PDB) nasional.
Presiden Jokowi, ujar Budi, kemudian menaruh perhatian pada kelompok yang belum sempat tersentuh bantuan ini. "Nah, ada satu segmen yang kami melihat perlu diberikan bantuan. Karena orang-orang ini tidak termasuk kelompok yang di-PHK dan orangorang ini tidak termasuk orang yang miskin, missed kita. Kita masih melihat bahwa, oh, orang-orang ini masih belum dibantu," jelas Budi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyampaikan bahwa masyarakat dengan pendapatan Rp 5 juta per bulan sebenarnya tidak masuk dalam kategori warga miskin. Dari sisi pengeluaran, seharusnya bantuan tunai ini diberikan untuk ke mereka yang berpendapatan di bawah Rp 2,3 juta per bulan. "Mereka sebenarnya paling berhak," ujarnya.
Tauhid menuturkan, penghasilan buruh pun saat ini masih berada pada level Rp 2,9 juta per bulan. Artinya, mereka yang tidak termasuk buruh akan mendapatkan bantuan. Dampaknya, akan ada kesenjangan yang semakin besar antara masyarakat desil satu dengan kelompok lebih mampu.
Tauhid menekankan, rencana pemerintah untuk memberikan bantuan gaji ini patut dikritisi mengingat anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 31 triliun. "Itu luar biasa besar. Kalau dibagikan ke kelompok terbawah, desil satu, akan sangat berarti," katanya.
Tidak hanya itu, rencana pemberian bantuan sosial berupa gaji juga tidak akan efektif mendorong perekonomian dari sisi konsumsi. Sebab, Tauhid menyebutkan, masyarakat dengan penghasilan Rp 5 juta yang berarti masuk ke golongan kelas menengah akan lebih memilih menyimpan uang untuk berjaga-jaga atau tabungan.
Tauhid mengingatkan, masyarakat kelas menengah biasa menggunakan pengeluaran mereka untuk non makan, baik pendidikan, kesehatan, hotel dan restoran. Sedangkan, dalam situasi pandemi, pengeluaran jenis ini akan sangat terbatas. “Inilah kenapa menurut saya, bantuan sosial ke kelompok (pendapatan) Rp 5 juta per bulan akan jadi masalah dan uang itu akan sia-sia,” katanya.
Seperti diketahui, subsidi akan diberikan sebesar Rp 600.000 per bulan untuk setiap pekerja formal dengan gaji kurang dari Rp 5 juta per bulan. Bantuan akan diberikan selama empat bulan.
Artinya total bantuan yang akan diterima pekerja sebesar Rp 2,4 juta. Penyaluran subsidi akan dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pertama pada kuartal III 2020 dan tahap kedua pada kuartal IV 2020 atau akhir tahun nanti.
Penyaluran bantuan akan mengacu pada data yang dimiliki BPJS Ketenagakerjaan (TK). Berdasarkan data BPJS TK, ujar Budi, jumlah pekerja formal dengan gaji kurang dari Rp 5 juta (dengan rata-rata range gaji Rp 2-3 juta) per bulan sebanyak 13,8 juta orang. Kelompok ini juga di luar pegawai BUMN dan PNS.