REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Ledakan dahsyat terjadi di ibu kota Lebanon, Beirut pada Selasa (4/8). Ledakan itu, disebabkan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan secara tidak aman sejak 2013.
Kondisi itu memperparah krisis ekonomi dan politik yang dihadapi Lebanon. Warga menyuarakan agar Lebanon melakukan revolusi dengan menjatuhkan rezim saat ini yang korup.
Tanda-tanda pertama keruntuhan Lebanon telah muncul ketika bank-bank di negara itu mulai membatasi penarikan di tengah protes nasional pada 2019. Pada Mei 2020, sistem keuangan negara sedang runtuh dengan tingkat inflasi 56,53 persen karena krisis ekonomi dan politik.
Demonstran merespons dengan 'komedi hitam' dengan membawa lira Lebanon dalam peti mati, menggemakan palang Ghana.
"Ketika orang ingin menertawakan sesuatu, itu karena seringkali mereka mungkin tidak dapat melakukan apa pun untuk mengubah kenyataan," jelas Hussein Yassine, seorang penulis di Lebanon The961.
"Ini bukan hanya menertawakan sebuah ide tanpa memahami konsekuensinya yang mengerikan, tapi ini salah satu cara untuk mengatasinya," jelasnya.
Humor itu telah lama menjadi tanda runtuhnya ketahanan negara. Makanan, bahan bakar, dan obat-obatan sulit ditemukan di pasar. Kondisi itu, kian diperparah dengan penutupan bisnis karena Covid-19. Pengangguran telah melonjak tajam dengan tingkat kemiskinan mendekati 50 persen.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, membahas reformasi yang memungkinkan bailout usai mengunjungi Beirut. Le Drian juga membahas rencana untuk perubahan pada sektor kelistrikan terpuruk, modernisasi sejumlah undang-undang dan pengurangan utang publik negara itu. Namun, pembicaraan itu tampaknya gagal.
Di tengah kondisi yang pelik, warga mulai mencari cara untuk menunjukkan solidaritas. Salah satunya membuat grup Facebook "Lebanon barters,".
Grup itu, dibentuk untuk membantu memfasilitasi pertukaran barang-barang rumah tangga seperti selimut, jam tangan, sepatu, popok dan susu formula, makanan. Grup itu terus mengalami peningkatan besar dalam jumlah anggota.
"Dengan barter, orang bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan tanpa terpaksa menjual barang di bawah nilainya," kata Nour Haidar, salah satu relawan yang mengelola kelompok tersebut dikutip dari Qantra, Jumat (7/8).
Haidar meminta, anggota grup untuk tidak memposting permintaan saja tetapi, juga membuat penawaran. Langkah itu, untuk melindungi martabat mereka.
Selain itu, Ia berharap, rumah sakit dan apotek melaporkan kelangkaan obat. Demikian, anggota grup dalat menawarkan apa yang mereka miliki secara gratis. "Orang-orang berusaha untuk membela satu sama lain. Solidaritas terlihat sangat jelas dalam situasi ini," kata Haidar.
Namun, banyak orang yang tak mampu mengatasi krisis itu. Sehingga kejahatan akibat kelaparan juga meningkat. "Jenis pencurian baru yang terutama melibatkan susu bayi, makanan, dan obat-obatan," kata seorang pejabat keamanan yang tidak disebutkan namanya kepada kantor berita AFP pekan lalu.
Seorang penduduk Beirut menceritakan, seorang pria merampok untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya dengan senjata pisau. Tetapi, pria itu, meminta maaf dan mencoba mengembalikan uang yang dicuri. "Saya mengatakan kepadanya bahwa saya memaafkannya, dan kemudian dia pergi," kata Zakaria al-Omar.