REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu perusahaan milik swasta di bidang jasa transportasi, PT Metro Mini telah menghentikan operasionalnya sejak 2019. Hal itu disebabkan kondisi kendaraan yang dinilai sudah tidak layak beroperasi.
Tak hanya itu, masalah lain seperti kondisi manajemen yang semrawut juga menjadi alasan PT Metro Mini tidak bisa bergabung dengan PT Transjakarta, seperti perusahaan bus dalam kota lainnya. Salah seorang pemilik saham PT Metro Mini, Yutek Sihombing mengatakan, kondisi manajemen perusahaan sangat mengkhawatirkan.
Beberapa permasalahan yang membelit perusahaan menyebabkan tak bisa bergabung di bawah naungan PT Transjakarta. "Direktur utama perusahaan kami ini selalu bekerja sendiri tanpa melibatkan para komisaris dan pemilik saham. Termasuk melakukan RUPSLB (rapat umum pemegang saham luar biasa)," kata Yutek di Jakarta, Jumat (7/8).
Dalam RUPSLB terakhir, salah seorang direktur PT Metro Mini memutuskan untuk membentuk pengurus baru pada Januari 2020 yang disahkan oleh notaris tanpa persetujuan para komisaris dan pemegang saham. Menurut Yutek, hal itu melanggar ketentuan perusahaan. "Akibatnya banyak dari kami yang sebenarnya masih memiliki saham, dihilangkan namanya, itu yang jadi pertanyaan kami. Kenapa dihilangkan," ujar Yutek geram.
Yang menjadi permasalahan, Yutek dan beberapa pemegang saham lain merasa tidak pernah menjual atau memindahkan lembar saham ke tangan orang lain. Hal itulah yang membuat pekerja Metro Mini menjadi terlantar dari ketidakjelasan manajemen dalam melakikan tata kelola perusahaan.
"Tanpa sepengetahuan kami, ada sekitar 947 dari 2.053 saham yang vakum yang dikeluarkan dan dipindahkan oleh direktur kepada orang yang bukan anggota PT Metro Mini. Sedangkan ada sekitar 500 saham milik kami yang dihapuskan," katanya.