Sabtu 08 Aug 2020 08:49 WIB

UGM Dorong Pemerintah Ratifikasi Larangan Senjata Nuklir

Traktat Larangan Senjata Nuklir membuka jalan penghapusan senjata itu secara total.

Ilustrasi Senjata Nuklir. Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) mendorong pemerintah segera meratifikasi Traktat Larangan Senjata Nuklir untuk membuka jalan penghapusan senjata itu secara total.
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Senjata Nuklir. Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) mendorong pemerintah segera meratifikasi Traktat Larangan Senjata Nuklir untuk membuka jalan penghapusan senjata itu secara total.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) mendorong pemerintah segera meratifikasi Traktat Larangan Senjata Nuklir untuk membuka jalan penghapusan senjata itu secara total. "Kami mendorong pemerintah segera meratifikasinya," kata peneliti IIS UGM Muhadi Sugiono melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat (7/8).

Ia mengatakan pada 7 Juli 2017, lebih dari 120 negara mengadopsi sebuah traktat baru yang untuk pertama kalinya dalam sejarah melarang senjata nuklir secara total. Adopsi traktat ini memberikan masyarakat global sebuah kesempatan bersejarah untuk melarang senjata nuklir dan membuka jalan bagi penghapusannya secara total.

Baca Juga

Menurut dia, diperlukan setidaknya 50 ratifikasi dari negara-negara agar traktat itu dapat berlaku. Saat ini, sudah ada lebih dari 40 negara yang telah meratifikasinya dan 82 negara yang telah menandatanganinya.

"Jumlah itu kemungkinan akan terus bertambah dalam bulan ini jika memperhitungkan kemajuan-kemajuan yang terjadi di beberapa negara," kata dosen Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM itu.

Namun, kata dia, yang disayangkan adalah Pemerintah Indonesia menandatangani traktat tersebut pada bulan September 2017, tetapi hingga saat ini belum meratifikasinya. Padahal, lanjut dia, di kawasan Asia Tenggara sudah ada dua negara yang meratifikasi The Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW), yakni Thailand dan Vietnam.

Setelah tragedi kemanusiaan di Hiroshima dan Nagasaki, menurut Muhadi, senjata nuklir saat ini sebagai satu-satunya senjata pemusnah massal yang belum dilarang oleh traktat internasional. Senjata pemusnah massal lainnya seperti senjata biologis dan kimia sudah dilarang sejak dekade-dekade lalu.

"Senjata nuklir masih menjadi senjata pemusnah massal yang belum sepenuhnya disepakati dilarang," kata pakar hubungan internasional UGM ini.

Ia mengatakan bulan Agustus ini bertepatan dengan 75 tahun peringatan penggunaan bom nuklir pertama kali dan menandai dimulainya era nuklir. Pada 6 dan 9 Agustus 1945, Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh serangan bom atom.

Menurut dia, lebih dari 240.000 anak-anak, perempuan, dan laki-laki tewas dalam pengeboman tersebut. Mereka yang bertahan hidup dari ledakan menderita dampak jangka panjang seperti penyakit leukimia dan kanker sebagai akibat dari paparan radiasi dan sebagian besar korban adalah warga sipil.

Muhadi menyebutkan saat ini senjata nuklir yang ada di dunia berjumlah 14.000 hulu ledak dan dikuasai oleh sembilan negara yakni Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, China, India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. "Masih banyak lagi senjata ini yang berada dalam status siaga, yang artinya senjata tersebut dapat diluncurkan dalam hitungan jam bahkan menit," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement