REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Presiden Lebanon Michel Aoun menyatakan ledakan dahsyat yang menghancurkan sebagian besar kota Beirut beberapa hari lalu mungkin disebabkan oleh serangan rudal atau bom. Pernyataan ini membuka spekulasi baru setelah sebelumnya ledakan diduga berasal dari amonium nitrat.
"Insiden itu mungkin akibat kelalaian atau intervensi eksternal melalui rudal atau bom," kata Aoun pada Jumat (7/8) dikutip dari Arab News.
Aoun menyatakan pemerintah Lebanon telah meminta bantuan dari Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk memberi kami foto udara untuk menentukan keberadaan pesawat atau rudal. "Jika Prancis tidak memiliki foto seperti itu, maka kami mungkin akan mencarinya dari negara bagian lain untuk menentukan apakah ada serangan asing," katanya.
Presiden mengatakan Macron marah atas peristiwa yang telah terjadi dan penyelidikan akan menargetkan semua orang yang bertanggung jawab secara langsung. Pengadilan Lebanon akan mengadili semua pejabat terlepas dari jabatannya. Saat ini 19 tersangka telah ditangkap dan mantan direktur jenderal bea cukai Lebanon, Chafic Merhy, telah diinterogasi oleh polisi militer.
Lebih dari 2.700 ton amonium nitrat telah disimpan di gudang pelabuhan selama enam tahun yang diduga meledak akibat kelalalian. Namun terdapat laporan yang bertentangan mempertanyakan pihak berwenang Lebanon memutuskan untuk mengosongkan pengiriman bahan peledak. Kapten Kapal menyatakan armadanya yang membawa kargo yang mudah terbakar itu sedang menuju dari Georgia ke Mozambik ketika berhenti di pelabuhan Lebanon untuk memuat besi.
Aoun menuturkan ada banyak pertanyaan tentang cara bahan peledak dikosongkan di pelabuhan, siapa yang bertanggung jawab untuk menyimpannya di sana selama enam tahun, dan apakah ledakan itu terjadi secara tidak sengaja atau disengaja. Semua tersebut akan dilakukan investigasi secara mendalam untuk menemukan jawabannya.
Menteri Kesehatan Hamad Hasan mengatakan jumlah orang yang terluka meningkat menjadi 5.000 menurut catatan rumah sakit dan 20 persen membutuhkan rawat inap, dengan 120 orang dalam kondisi kritis. Jumlah korban luka bisa jauh lebih tinggi, terutama karena ratusan orang pergi ke apotek atau klinik swasta untuk berobat dan tidak mendaftarkan nama mereka.
Komandan Angkatan Darat Lebanon Jenderal Joseph Aoun memeriksa tim pencarian dan penyelamatan lokal dan asing di Pelabuhan Beirut yang telah dinyatakan sebagai daerah terlarang. Penduduk melaporkan pencurian di rumah dan toko yang rusak pada malam hari, terutama karena daerah yang rusak kehilangan aliran listrik.
"Lebih dari 300 ribu orang memiliki tempat tinggal mereka yang rusak seluruhnya atau sebagian karena ledakan, yang menyebabkan mereka mengungsi," ujar perwakilan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Lebanon, Mireille Girard. UNICEF mengatakan 100 ribu anak Lebanon telah kehilangan rumah akibat ledakan dan 120 sekolah yang melayani 55 ribu anak telah rusak.
Amerika Serikat menyumbangkan lebih dari 17 juta dolar AS dalam bentuk bantuan ke Lebanon, selain bantuan keuangan kepada Palang Merah Lebanon. Sementara Kementerian Luar Negeri Jepang mengatakan akan menyediakan tenda, tempat tidur, selimut, dan bantuan lainnya melalui Badan Kerja Sama Internasional Jepang.
Inggris mengatakan bahwa HMS Enterprise akan berlayar ke Lebanon untuk menilai kerusakan di Pelabuhan Beirut. Mereka akan membantu memulihkan operasi pelabuhan yang normal, bersama dengan bantuan militer dan sipil senilai lebih dari 6,5 juta dolar AS.