Sabtu 08 Aug 2020 17:21 WIB

5 Pelajaran Pandemi Covid-19 untuk Atasi Krisis Iklim

Di masa depan, manusia menghadapi musuh bernama perubahan iklim.

Rep: Febryan A/ Red: Dwi Murdaningsih
Perubahan iklim (Ilustrasi)
Foto: PxHere
Perubahan iklim (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Musuh yang memporakporandakan kehidupan kita sekarang dan yang akan datang ternyata berukuran sangat kecil. Namun, dampaknya besar sekali.

Sekarang manusia menghadapi virus corona penyebab Covid-19. Sedangkan di masa depan manusia akan menghadapi molekul gas yang memerangkap panas sehingga menyebabkan krisis iklim.

Baca Juga

Dampak dari musuh kecil pertama telah kita rasakan kini. Mulai dari kepanikan global hingga krisis ekonomi. Tapi, kita bisa belajar dari pandemi ini untuk mengatasi krisis iklim yang akan segera tiba.

Belajar dari pandemi untuk menghadapi mengatasi krisis iklim menjadi relevan karena keduanya muncul sama-sama karena ulah manusia. Mengutip laporan CNN Internasional, Sabtu (8/8), setidaknya terdapat lima pelajaran yang bisa diambil:

Pertama, penyangkalan terhadap sains akibatnya sangat mematikan. Bahaya dari mengabaikan ilmu pengetahuan adalah pelajaran utama dari Direktur Earth System Science Center di Pennsylvania State University, Michael Mann.

"Dengan menolak apa yang telah dikatakan ilmuwan kesehatan terkemuka, kebijakan pemerintah saat ini yang lamban dalam menghadapi Covid-19 berujung pada hilangnya lebih dari 100.000 nyawa (di Amerika Serikat)," katanya.

Mann termasuk orang pertama yang mengkonfirmasi bahwa tingkat polusi yang memerangkap panas telah melonjak akibat aktivitas pembakaran bahan bakar fosil. Namun, ia malah berulang kali dituduh, dituntut secara hukum, bahkan diancam bakal dibunuh. Padahal temuannya telah berulang kali dikonfirmasi oleh ilmuwan lain.

Hal sama ia lihat kini dialami Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular Amerika Serikat (AS), Dr, Anthony Fauci, hanya karena menyampaikan kebenaran soal Covid-19 kepada penguasa. Menurut Mann, penyangkalan terhadap sains dalam menangani Covid-19 juga tampak ketika menghadapi ancaman krisis iklim.

Kedua, pencarian solusinya bersifat global, tapi peluang hidup bersifat lokal. Hal ini tampak ketika sejumlah gubernur di AS meminta bantuan Presiden Donald Trump untuk mencukupi stok ventilator dan APD untuk rumah sakit di wilayah mereka masing-masing pada Maret lalu.

"Cobalah untuk mendapatkannya sendiri," jawab Donald Trump.

Perkataan Trump itu menyebabkan para gubernur saling berebut dan perang tawar untuk mendapatkan alat-alat kesehatan. Tiba-tiba kehidupan seorang nenek di suatu negara bagian sangat bergantung pada kemampuan tawar menawar para gubernur.

Dinamika yang sama diyakini bakal terjadi pula saat krisis iklim semakin parah, misalnya, ketika permukaan laut semakin naik atau gunung terbakar. Jadi, sampai vaksin atau ekonomi dekarbonisasi ditemukan, kebijakan tetangga dapat menjadi penentu antara hidup dan mati.

Ketiga, perilaku individu memang bisa menyelamatkan nyawa tapi tidak menyelesaikan pokok masalah. Menjalankan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 memang bisa menyelamatkan nyawa, tapi upaya itu tak akan bisa sepenuhnya memberantas Covid-19 di planet yang dihuni 7 miliar manusia ini.

Hal demikian juga berlaku pada krisis iklim. Mengurangi jejak karbon sendiri memang sangat penting dan juga menyehatkan, tapi itu tak akan menyelesaikan masalah. Umat manusia tak akan menghilangkan jejak karbon ataupun Covid-19 tanpa upaya masif oleh setiap sektor masyarakat di seluruh dunia.

"Kita membutuhkan perubahan sistemik dramatis dalam bentuk kebijakan yang akan membantu kita mendekarbonisasi ekonomi kita dengan cepat," kata Mann.

Keempat, umat manusia mampu berubah dengan cepat dan secara luas. Miliaran orang kini telah mengubah cara hidupnya guna menghadapi pandemi.

"Untuk sementara, pandemi mengurangi emisi pencemar karbon terbesar di dunia sebesar 20-25 persen hanya dalam beberapa pekan," kata Katharine Hayhoe, ilmuwan iklim di Texas Tech.

Selama karantina wilayah diterapkan di banyak negara, udara dan langit menjadi sangat bersih. Tapi, ketika karantina diperlonggar, terjadi lagi kemunduran. Padahal perubahan hanya berarti jika dilakukan secara konsisten.

"Saya merasa ini sangat penuh harapan karena jika kita membuat perubahan itu permanen, kita akan mencapai setengah jalan menuju target Kesepakatan Iklim Paris hanya dalam empat pekan," katanya.

Kelima, di tengah ancaman ganda, kesehatan tubuh akan semakin sangat bergantung pada kesehatan planet. Hal ini tergambar dari kesaksian Dr. Renee di depan Kongres.

Dokter ruang gawat darurat dan rekan di Harvard T.H. Chan School of Public Health ini menggambarkan lonjakan pasien Covid-19 dan heat stroke pada saat bersamaan. Tapi perubahan iklim telah membuatnya sulit bekerja. Badai Maria di Puerto Rico mengancam infrastruktur perawatan kesehatan.

Studi terbaru juga menemukan kaitan antara ledakan penyakit dengan dengan penggundulan hutan. Jonathan Foley, ilmuwan iklim dan direktur Project Drawdown, mencontohkan hal itu pada hadirnya pandemi saat ini. Ia meyakini penyebabnya karena penghancuran ekosistem alami.

"Kalau tidak hancur, kita akan terus mengendalikan virus dan tetap berada di alam liar. Tapi ketika kita masuk dan menghancurkan hutan hujan, kita mencampurkan virus dan manusia untuk pertama kalinya dalam sejarah dan lihat apa yang terjadi," kata Foley.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement