Ahad 09 Aug 2020 06:07 WIB

Tanpa Kopi Hidup Ini Terasa Hampa

Proses roasting kopi tradisional menjadi penunjang kehadiran warung kopi di Aceh

Red: Bayu Hermawan
Kusniati, salah seorang pengolah yang masih melakukan penyangraian biji kopi secara tradisional.
Foto: Thoudy Badai
Kusniati, salah seorang pengolah yang masih melakukan penyangraian biji kopi secara tradisional.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Minum kopi telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Aceh. Tak peduli waktu, pagi, siang bahkan malam hari pun, warung-warung kopi yang ada di wilayah Aceh selalu ramai dikunjungi masyarakat. Ya, Provinsi Aceh tidak hanya dikenal dengan julukan Serambi Mekkah, namun juga "seribu warung kopi"

Tidak sulit memang menemukan warung kopi di wilayah Aceh. Saat tim Ekspedisi Republikopi berkunjung ke Kota Banda Aceh, hampir di seluruh ruas jalan yang dilewati, pasti ada warung kopi. Uniknya, warung-warung kopi itu kerap berdiri bersamping-sampingan, mulai dari warung kopi tradisional hingga yang modern. Seolah, tidak terasa adanya persaingan dalam memperebutkan konsumen di antara warung-warung itu, dan memang hampir semua warung kopi pasti ramai dengan pengunjung.

Baca Juga

Hal ini tidak terlepas dari budaya minum kopi di masyarakat Aceh. Tak peduli siang, sore, malam bahkan habis subuh pun, masyarakat Aceh kerap pergi ke kedai-kedai untuk menikmati segelas kopi dan bercengkarama dengan sesama. Jika sudah ada kopi, obrolan pun berlangsung seru, mulai membahas kondisi kehidupan sehari-hari, hingga kondisi negara. Semua dipersatukan oleh segelas kopi. 

"Di Aceh itu ada pepatah "tanpa kopi hidup ini terasa hampa"," ucap Tengku Dahrul Bawadi, salah seorang pelaku usaha di bidang kopi.

"Semua aktivitas dan kegiatan warga Aceh bisa dikatakan 60 persen itu di warung kopi, mulai dari belajar, berkumpul, bekerja hingga membicarakan bisnis kerap dilakukan di warung-warung kopi. Jadi budaya minum kopi disini sudah sangat mengakar sekali," katanya melanjutkan.

Bawadi melanjutkan, meski kopi jenis Arabica di Aceh sudah tersohor ke seluruh Indonesia bahkan dunia, namun ternyata kopi jenis Robusta yang menjadi favorit warga setempat. Kopi robusta yang digunakan sebagian besar berasal dari wilayah Tangsi dan Lamno. Sementara kopi Arabica Gayo, justru lebih sepi peminatnya di warung-warung tradisional. "Arabica itu paling banyak untuk dijual keluar Aceh," ucapnya.

photo
Proses roasting kopi Aceh secara tradisional - (Thoudy Badai)

Merawat Tradisi Nenek Moyang

Salah satu unsur penting dalam menunjang bertahannya warung-warung kopi tradisional di Aceh, adalah roaster (pemanggang) biji kopi. Tanpa peran mereka, pastinyan tidak ada lagi pasokan biji kopi yang cocok untuk diseduh menjadi kopi khas di warung-warung tersebut. Tim Ekspedisi Republikopi berkesempatan bertemu dengan Kusniati, salah seorang pengolah yang masih melakukan penyangraian biji kopi secara tradisional.

Dengan menggunakan drum kaleng yang diletakan langsung di atas tungku api, Kusniati biasa menyangrai biji kopi hingga 150 kilo gram setiap harinya. Selama kurang lebih delapan hingga sembilan jam sehari, ibu rumah tangga itu bergelut dengan panas dan asap dari proses penyangraian kopi. Kusniati mengaku awalnya tidak pernah terbesit keinginan untuk menjadi pemanggang biji kopi.

"Saya pertama belajar (meroasting kopi) dari suami. Tapi karena suami juga berdagang, jadi kadang sibuk sekali. Awalnya saya hanya berniat membantu dia, tapi kemudian berlanjut terus, sampai sudah hampir 10 tahun saya mengolah kopi," katanya.

Ia menjelaskan, untuk mendapatkan hasil roasting yang baik ada beberapa hal yang menjadi kunci, pertama tentu biji yang digunakan harus bagus. Kemudian, kedua adalah kayu bakar yang digunakan tidak boleh sembarangan. "Kayunya dari hutan, karena ini akan berpengaruh pada rasa dan aroma kopinya," ucapnya.

Kusniati melanjutkan, hasil roasting secara tradisional, sangat cocok untuk digunakan untuk metode seduh kopi saring, yang memang khas dari Aceh.  Kusniati mengaku, upah yang didapatnya sebesar 150 ribu setiap satu kali meroasting, cukup membantu perekonomian keluarga. Dirinya juga senang menjalani pekerjaan ini, karena selain mendapat penghasilan tambahan, apa yang dilakukannya juga merupakan bagian dari merawat tradisi nenek moyang. 

"Meski sekarang banyak kedai kopi dan cara modern, yang tradisional seperti ini jangan dihilangkan, karena ini sudah dari nenek moyang, kalau bisa terus ada," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement