Senin 10 Aug 2020 11:46 WIB

Media Inggris Mengambinghitamkan Muslimah di Tengah Pandemi

Media Inggris memakai gambar wanita Muslim berjilbab saat siarkan berita buruk corona

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Media Inggris Mengambinghitamkan Muslimah di Tengah Pandemi. Muslimah berhijab di London, Inggris.
Foto: AP
Media Inggris Mengambinghitamkan Muslimah di Tengah Pandemi. Muslimah berhijab di London, Inggris.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fatima Rajina menyoroti tentang kebijakan pemerintah dan peran media di tengah pandemi virus corona di Inggris. Fatima merupakan seorang akademisi yang mengkhususkan diri pada isu-isu yang berkaitan dengan identitas, ras, Muslim Inggris, dan post-kolonialisme.

Dalam artikelnya di Middle East Eye, dilansir Senin (10/8), ia menyoroti ketika pemerintah Inggris mengumumkan larangan berkumpul di dalam ruangan di sejumlah daerah ketika Muslim di negara itu bersiap merayakan Idul Adha bulan lalu. Keadaan berubah bagi mereka yang tinggal di utara Inggris.

Baca Juga

Masyarakat hanya memiliki waktu beberapa jam dari pemberitahun agar mengikuti aturan lockdown yang baru. Bagi banyak Muslim, aturan baru itu mengharuskan mereka mengatur ulang rencana, termasuk soal perjalanan. Yang membingungkan banyak orang, meskipun mereka tidak dapat bertemu dengan anggota keluarga di rumah mereka, namun mereka dapat bertemu di restoran atau pub.

Namun, yang paling mengejutkan bagi Fatima tentang aturan lockdown yang dikirim ke orang-orang melalui Twitter beberapa jam sebelum diterapkan itu ialah liputan media. Ia menyoroti soal outlet berita terkemuka yang meliput peraturan baru tersebut, terutama gambar yang mereka gunakan.

Pasalnya, sebagian besar gambar menunjukkan wanita Muslim yang mengenakan hijab dan jilbab. Beberapa media menggambarkan wanita Asia Selatan dengan sari dan salwar kameez (pakaian tradisional di daerah Asia Selatan).

Penekanan gambar yang dimuat media ini dinilai mengkhawatirkan. Fatima menyebut, gambar wanita Muslim yang terlihat dalam cerita tentang pandemi berkontribusi pada terbentuknya stereotip negatif. Ketika cerita-cerita secara negatif membahas daerah-daerah tertentu di Inggris dan mencatat peningkatan kasus virus corona, yang ditunjukkan adalah gambar-gambar etnis minoritas, terutama Muslim.

Penelitian telah menunjukkan bagaimana liputan media tentang Muslim, terutama Muslim yang terlihat, berkontribusi pada stereotif negatif. Citra Muslim yang digunakan dan waktu dari penerapan lockdown, menimbulkan ketakutan Muslim adalah penyebar super virus tersebut meski tidak ada bukti tentang itu.

Komunitas Muslim membentuk empat persen dari populasi Inggris. Mereka tampaknya menanggung beban dari kegagalan negara akan penanganan Covid-19.

Fatima kemudian lebih menyoroti soal gambar-gambar yang ditampilkan oleh media yang sebagian besar wanita. Secara historis, wanita Muslim telah dikonstruksi sebagai pasif, ditindas oleh pria Muslim dan membutuhkan penyelamatan. Namun, wanita Muslim juga dipandang menjadi ancaman bagi tatanan sosial masyarakat.

Mantan ibu negara AS Laura Bush bahkan membuat argumen invasi Amerika Serikat ke Afghanistan diperlukan untuk pembebasan perempuan Afghanistan. Fatima mengatakan, tubuh wanita Muslim telah menjadi penilaian poin politik. Pilihan estetika membuatnya sangat terlihat, tetapi secara bersamaan tidak terlihat.

Menurutnya, wanita Muslim dipersenjatai, digambarkan selalu membawa potensi untuk menyebabkan perpecahan. Tubuhnya menimbulkan kecemasan, meski berada di pinggiran masyarakat.

Saat situs berita menyebarkan gambar-gambar wanita Muslim, hal itu menambah kecemasan yang sudah ada di sekitar Muslim. Hal itu memfasilitasi gagasan Muslim selalu menyebabkan masalah dantidak pernah benar-benar mengetahui tempat mereka.

Sedangkan tubuh wanita Muslim, khususnya, digunakan sebagai alat manajemen sosial. Fatima menyebut, wanita Muslim dipandang menjadi beban, tetapi juga mengundang tatapan orang-orang yang ingin memanfaatkannya.

Fatima selanjutnya menyoroti sebuah artikel di Guardian tentang larangan pertemuan di dalam ruangan yang menggunakan gambar wanita Asia Selatan dalam shalwar kameez, meskipun agamanya tidak jelas. Menurutnya, penggunaan etnis minoritas dalam gambar-gambar tersebut tidak jujur.

Komunitas ini sangat terdampak oleh Covid-19 lebih dari yang lain. Mereka juga menghadapi hambatan yang lebih signifikan untuk melindungi diri mereka sendiri karena rasialisme dan diskriminasi. Di sini, Fatima mempertanyakan soal gambar-gambar dari komunitas 'lain' yang dipandang lebih menarik untuk digunakan oleh media.

"Gambar membawa makna. Fokus yang tidak proporsional pada komunitas minoritas, termasuk Muslim, adalah bagian dari tradisi lama mengambinghitamkan komunitas 'lain'. Lebih mudah menyalahkan mereka yang memiliki kekuasaan paling kecil dalam masyarakat karena ini membebaskan pemerintah dari tanggung jawabnya dan membuka kedok kegagalannya," kata Fatima.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement