REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mentransfer ilmu Islam sesungguhnya telah dipraktikkan Nabi dalam berbagai hal, salah satunya adalah dalam pernikahannya dengan Aisyah. Regenerasi dilakukan oleh Nabi kepada Aisyah yang dapat merekam aktivitas Nabi secara dekat dan terus-menerus.
Ketika zaman Nabi, umat Islam tak gamang dalam menentukan suatu perkara. Sepeninggal Nabi, Alquran dan hadis pun dijadikan pusaka—pegangan—penunjuk arah dalam mengambil landasan hukum dari aktivitas yang dijalankan umat Islam.
Namun apa jadinya apabila jauhnya jarak antara umat Islam masa kini dengan Nabi Muhammad SAW mengaburkan informasi-informasi yang tidak tersambung kepada Rasulullah? Untuk itulah, para ulama saling berjibaku menyusun metode keilmuan untuk mengasah otensitas suatu hadits.
Namun tak sedikit pula ulama yang merasa khawatir tentang proses transfer ilmu yang dilakukan dan berlangsung. Dalam buku Kitab Fikih Pertama dalam Perspektif Sejarah karya Sutomo Abu Nashr dijelaskan, Imam Al-Auza’i bahkan sempat mengkhawatirkan penulisan Alquran untuk dibukukan.
Bagi beliau, munculnya buku bisa menjadi salah satu penyebab orang-orang yang bukan ahlinya akan ikut-ikutan dalam urusan keilmuan. Dia berkata: “Ilmu ini pernah menjadi sangat mulia saat masih dipelajari dengan talaqqi kepada tokoh-tokohnya. Namun saat ini ilmu sudah masuk dalam buku-buku, ikut masuk pula akhirnya orang-orang yang sebenarnya tak mampu (tak memiliki kapasitas),”.