REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Upaya Afghanistan dan Taliban telah mencapai hasil yang baik dan selangkah lagi menuju dialog damai. Negosiasi perdamaian memang telah lama ditunggu-tunggu antara kedua belah pihak dan diharapkan akan dimulai di Qatar dalam waktu sepekan ini.
Utusan khusus Amerika Serikat (AS) dan sumber pemerintah Afghanistan mengatakan, upaya dialog damai akan terlaksana setelah kelompok terakhir tahanan Taliban dibebaskan. Pemerintah Afghanistan menerima saran dari seorang loya jirga, majelis besar para tetua, untuk membebaskan 400 tahanan Taliban inti. Hal itu juga akan membuka jalan bagi pembicaraan yang bertujuan untuk mengakhiri perang yang berlangsung sejak pasukan Afghanistan yang didukung AS digulingkan pemerintah Taliban pada 2001.
"Kami siap untuk melakukan pembicaraan dalam waktu sepekan sejak kami melihat tahanan kami dibebaskan. Kami siap," ujar juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, pada Senin (10/9).
Sebuah sumber pemerintah mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Presiden Ashraf Ghani kemungkinan akan menandatangani keputusan untuk membebaskan para tahanan pada Senin malam. "Semua orang menunggu Ghani menandatangani keputusan itu. Rencana awal adalah melakukan perjalanan ke Doha pada Rabu dan pembicaraan akan dimulai pada Ahad," kata sumber itu.
Utusan Khusus AS Zalmay Khalilzad, yang mencapai kesepakatan dengan Taliban pada Februari untuk penarikan pasukan AS terakhir, menyambut baik kemajuan tersebut. AS menghabiskan berbulan-bulan mencoba membawa gerakan militan ke meja perundingan dengan pemerintah.
"Dalam beberapa hari ke depan, kami mengharapkan penyelesaian pembebasan tahanan, kemudian perjalanan tim Republik Islam ke Doha, dab dari sana segera dimulainya negosiasi intra-Afghanistan," katanya di Twitter.
Taliban telah menuntut pembebasan 400 dari 5.000 tahanan terakhir, sebagai syarat untuk bergabung dalam pembicaraan damai. Namun pemerintah ragu karena para tahanan ini terlibat dalam beberapa kekerasan terburuk, termasuk pengeboman truk tahun 2017 di dekat kedutaan Jerman di Kabul yang menewaskan lebih dari 150 orang, yang juga merupakan serangan paling mematikan dalam pemberontakan 19 tahun.
Melansir BBC, sebuah laporan PBB pada Februari 2019 mengklaim bahwa lebih dari 32 ribu warga sipil telah tewas selama perang 19 tahun tersebut. Pada tahun yang sama, Presiden Ghani mengatakan lebih dari 45 ribu anggota layanan keamanan telah tewas sejak 2014.
Pada Sabtu lalu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan jumlah pasukan di Afghanistan akan turun menjadi di bawah 5.000 pada November. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, dia mengatakan Pentagon perlu memberi tahu Kongres tentang rencana tersebut.
Dia menambahkan bahwa hal itu juga tergantung pada apakah AS tidak diancam oleh teroris yang keluar dari Afghanistan. Presiden Trump pekan lalu mengatakan dia ingin mengurangi jumlah pasukan menjadi 4.000-5.000 sebelum pemilihan presiden November.