REPUBLIKA.CO.ID, PALESTINA -- Setidaknya ada tiga hal yang membuat Israel terus menyerang Palestina. Pertama, mereka kecewa dengan kabar gembira yang pernah disampaikan Nabi Musa AS akan datangnya utusan (Nabi) yang berasal dari golongan mereka yang tingkah lakunya sama dengan Musa AS. Ternyata, utusan itu bukan dari Bani Israil, keturunan Ishaq, putra dari Nabi Ibrahim AS, melainkan dari keturunan Ismail AS, yakni Muhammad SAW.
Dalam buku The Testament of Moses disebutkan, Musa memberikan satu kitab pada pengikutnya yang bernama Yosua (Yusya) bin Nun sebelum ia wafat. Dalam buku tersebut disebutkan akan muncul seorang nabi yang ditunggu-tunggu bersama kekuasaan yang diberikan Tuhan padanya setelah 250 minggu wafatnya Nabi Musa AS.
Dalam kepercayaan Yahudi, satu minggu dimaknai dengan tujuh tahun. Musa mengatakan, nabi itu tidak akan muncul sebelum lewat 250 minggu dari kematiannya. Jadi, diperkirakan setelah 251 minggu baru muncul. Angka ini bila dikalikan dengan tujuh tahun, masa itu berarti mencapai 1750-1757 tahun kemudian.
Buku yang terkuak pada 1861 M di Kota Milan (Italia) di Perpustakaan Ambrosian itu dikatakan, Nabi Musa AS wafat pada 1183 sebelum masehi (SM). Bila angka ini ditambahkan dengan tahun Masehi (awal kelahiran Nabi Isa AS) maka tahun kelahiran nabi akhir zaman itu antara 567-574 masehi (M). Siapakah dia? Dialah Nabi Muhammad SAW yang lahir pada 571 M.
Dalam Taurat dan Injil disebutkan, nabi akhir zaman itu namanya adalah Ahmad. Ini tertuang dalam Surah As-Shaff [61]: 6. Orang Nasrani menafsirkan, kedatangan nabi akhir zaman itu adalah kemunculan Isa untuk kedua kalinya. Inilah yang membuat orang Yahudi (Bani Israil) kesal dan akhirnya menimpakan kekesalannya kepada umat Islam.
Tabut
Kedua, yang menyebabkan orang Israel terus-menerus menggempur Palestina dan berupaya menghancurkan Masjid Al-Aqsha karena mereka percaya, Haikal Sulaiman (Solomon Temple) adalah Masjid Al-Aqsha yang ada sekarang ini. Sebab, di situlah dahulunya Kuil Sulaiman berada.
Mereka percaya, di bawah Masjid Al-Aqsha terdapat Tabut (sebuah kotak yang berisi Kitab Taurat dan sejumlah barang milik Musa dan Harun serta barang milik Sulaiman AS) yang membawa ketenangan. Lihat QS Surah al-Baqarah [2]: 248.
Dalam kepercayaan Yahudi, siapa yang mendapatkan Tabut itu maka dia akan menguasai seluruh dunia. Karena itulah, Israel tak henti-hentinya melakukan penggalian dan membuat terowongan untuk mencari Tabut itu, yang mereka yakini berada di bawah Masjid Al-Aqsha. Sejak 1967 sampai saat ini, lebih dari 10 kali kaum Zionis Israel melakukan penggalian di Kota Suci Al-Quds itu.
Selain itu, Israel menganggap bahwa sebelum Masjid Al-Aqsha berdiri, di situlah dahulunya terdapat Kuil (Haikal) Sulaiman. Menurut versi Yahudi, kuil Sulaiman merupakan lambang kekuatan sehingga sangat berguna dalam situasi terkini di dunia internasional.
Berdasarkan foto-foto yang dilansir Aljazirah pada awal November 2012 lalu, tampak bahwa di bawah bangunan Masjid Al-Aqsha terdapat sejumlah tempat yang didesain khusus untuk kepentingan Yahudi (Israel).
Ketiga, masalah lain yang menyebabkan Israel terus-menerus menggempur Palestina, sebagaimana diungkapkan Paul Findley, yang dikutip Adian Husaini dalam bukunya Mau Menang Sendiri; Israel Sang Teroris Yang Pragmatis?, ada tiga hal, yakni klaim teologis dalam teks Perjanjian Lama, Deklarasi Balfour tahun 1917, dan pembagian wilayah Palestina oleh Majelis Umum PBB tahun 1947.
Klaim Teologis
Berdasarkan klaim teologis, pendirian negara Israel didasarkan pada teks-teks Perjanjian Lama dalam Kitab Kejadian 12:7, 15:18-21, dan Kitab Yosua. Tokoh Zionisme Theodore Herzl menggariskan, wilayah Israel membentang dari Hulu Mesir sampai Efrat. Ben Gurion menyatakan, wilayah Israel meliputi lima wilayah, yaitu Lebanon Selatan, Suriah Selatan, Trans Yordania, Palestina, dan Sinai (Mesir).
Rabbi Yehuda Fischman, pada Komite Penyelidikan Khusus PBB pada 9 Juli 1947, menyatakan, wilayah Israel membentang dari Hulu Mesir sampai Efrat meliputi Lebanon dan Syria. Klaim Israel ini ditentang keras oleh Paul Findley dan Roger Garaudy. Menurut keduanya, bangsa Yahudi (Israel) bukanlah penduduk pertama di Palestina. Mereka juga tidak memerintah di sana selama masa pemerintahan bangsa-bangsa lain. Para ahli arkeologi modern secara umum sepakat bahwa bangsa Mesir dan Kanaan telah mendiami wilayah Palestina sejak masa paling kuno sekitar 3000 SM hingga 1700 SM.
Deklarasi Balfour
Ketika Palestina dikuasai oleh Dinasti Turki Utsmani (1876-1909 M), kaum Yahudi terus berusaha mengambil wilayah Palestina dari kekuasaan ini. Tokoh Zionis Israel, Theodore Herzl, berusaha membujuk Sultan Abdul Hamid II untuk mengembalikan Palestina ke tangan Israel. Permintaan itu ditolak mentah-mentah Sultan Abdul Hamid II.
Gagal mendapat konsesi dari Pemerintahan Turki Utsmani (Ottoman), bangsa Yahudi menggalang dukungan international untuk menyukseskan misi Zionis: membentuk negara Yahudi di Palestina. Dukungan utama datang dari Inggris hingga akhirnya keluarnya Deklarasi Balfour (diambil dari nama Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour), pada 2 November 1917, kepada Presiden Federasi Zionis Inggris, Lord Rothchild.
Deklarasi itu menyebabkan wilayah Palestina terbagi tiga. Pertama, negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina dan meliputi hampir seluruh wilayah yang subur, dengan perimbangan penduduk 498 ribu Yahudi dan 497 ribu Arab.
Kedua, negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total wilayah Palestina dan hampir seluruh wilayahnya tandus dan berbukit-bukit. Perimbangannya, 10 ribu Yahudi dan 725 ribu Arab.
Ketiga, zona internasional (Yerusalem) dengan perimbangan penduduk 100 ribu Yahudi dan 105 ribu Arab. Padahal, pada 1922 atau sekitar 26 tahun sebelum resolusi PBB itu, ketika Liga Bangsa-Bangsa memberi mandat kepada Inggris, penduduk Arab Palestina berjumlah 668 ribu orang dan menguasai 98 persen wilayah Palestina. Sedangkan, penduduk Yahudi yang berjumlah 84 ribu orang hanya menguasai dua persen tanah Palestina.