Selasa 11 Aug 2020 13:42 WIB

Turki: Kunjungi Lebanon, Prancis Pakai Pola Pikir Kolonial

Turki menilai Prancis tak nyaman dengan menguatnya pengaruh Ankara di Lebanon.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Presiden Prancis Emmanuel Macron, kanan, berbicara dengan seorang wanita saat mengunjungi lingkungan Gemayzeh, yang mengalami kerusakan parah akibat ledakan pada hari Selasa yang melanda pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis, 6 Agustus 2020. Macron telah tiba di Beirut untuk menawarkan dukungan Prancis ke Lebanon setelah ledakan pelabuhan yang mematikan.
Foto: AP/Bilal Hussein
Presiden Prancis Emmanuel Macron, kanan, berbicara dengan seorang wanita saat mengunjungi lingkungan Gemayzeh, yang mengalami kerusakan parah akibat ledakan pada hari Selasa yang melanda pelabuhan Beirut, Lebanon, Kamis, 6 Agustus 2020. Macron telah tiba di Beirut untuk menawarkan dukungan Prancis ke Lebanon setelah ledakan pelabuhan yang mematikan.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan Prancis masih menerapkan pola pikir kolonial pada kebijakannya di Timur Tengah. Hal itu dia sampaikan setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi Lebanon untuk memantau kondisi pasca-ledakan Beirut.

"Faktanya, ini adalah cerminan dari kebijakan Prancis untuk membuat kawasan tidak stabil. Prancis melihat daerah ini sebagai arena persaingan, berlawanan dengan Turki," kata Cavusoglu, dilaporkan laman Daily Sabah pada Selasa (11/8).

Baca Juga

Dia pun menyinggung tentang penentangan Prancis terhadap Turki. Menurut Cavusoglu, sikap demikian muncul karena pengaruh Turki di negara bekas jajahan Prancis meningkat. "Inilah mengapa Prancis tidak nyaman dengan kami," ujarnya.

Hal itu turut ditegaskan Wakil Presiden Turki Fuat Oktay. Dia mengklaim hubungan Turki dengan negara-negara di kawasan, termasuk dengan Lebanon, didasarkan pada prinsip saling menguntungkan.  Turki, kata Oktay, tak pernah meminta imbalan apa pun atas bantuan kemanusiaan yang mereka berikan.

"Lebanon sedang menghadapi negara yang siap untuk segala jenis dukungan tanpa meminta imbalan apa pun setelah menghadapi mentalitas (Prancis) yang meremehkan mereka dan mengeksploitasi sumber daya negara. Yang membedakan dua negara pembantu adalah pola pikir kolonialisme," ujarnya.

Saat melakukan kunjungan ke Beirut pekan lalu, Macron menyuarakan tentang perlunya Prancis memainkan peran dalam membantu Lebanon. Jika hal itu tak dilakukan, dia menyebut terdapat kekuatan lain yang dapat mengintervensi dan mengambil keuntungan dari krisis yang tengah berlangsung. Terkait hal ini, Macron menyinggung Arab Saudi, Iran, dan Turki.

Ledakan yang memorakporandakan Beirut terjadi pada 4 Agustus lalu. Sumber ledakan adalah gudang yang menyimpan 2.750 ton amonium nitrat, bahan kimia untuk membuat pupuk dan bahan peledak. Gudang tersebut terletak di dekat pelabuhan Beirut.

Sejauh ini, sebanyak 163 orang dilaporkan tewas akibat ledakan. Sementara korban luka mencapai lebih dari enam ribu. Peristiwa itu telah memicu pergolakan di Lebanon. Ribuan warga turun ke jalan dan melakukan demonstrasi menuntut pergantian rezim.

Mereka menilai pemerintah bertanggung jawab penuh atas terjadinya hal tersebut. Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab telah mengundurkan diri dari jabatannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement