REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya klaster Covid-19 baru di sekolah sudah menjadi kekhawatiran Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sejak pemerintah mulai mengizinkan zona kuning dan hijau melakukan pembelajaran tatap muka. FSGI menilai, kebijakan pendidikan terkait pembukaan sekolah tersebut berkebalikan dengan fakta yang ada.
"Di satu sisi angka statistik penyebaran Covid-19 di Indonesia makin tinggi. Tetapi di sisi lain kebijakan pendidikan membuka sekolah makin longgar," kata Wasekjen FSGI Satriwan Salim dalam keterangannya, Selasa (11/8).
FSGI menyadari jika persoalan siswa dan orang tua selama pembelajaran jarak jauh (PJJ) banyak mengalami kendala, khususnya secara teknis. Laporan pelaksanaan PJJ Fase I (Maret-Juni) dan PJJ Fase II (Juli-Agustus) yang diterima FSGI dan jaringannya di daerah soal persoalan teknis PJJ masih sama.
Beberapa laporan tersebut antara lain adalah tidak adanya jaringan internet, atau jaringan yang buruk. Siswa dan guru yang tidak memiliki gawai, persoalan jaringan listruk, dan metode guru yang tak kunjung optimal karena faktor geografis.
Selain itu, keluhan dari orang tua yakni ketidakmampuan mendampingi anak selama PJJ. Penugasan untuk siswa yang menumpuk dan pengeluaran yang meningkat untuk membeli kuota internet juga menjadi laporan yang banyak diterima FSGI.
Satriwan beranggapan, seharusnya pemerintah pusat dan daerah lebih dulu membenahi persoalan-persoalan PJJ tersebut. "Koordinasi dan komunikasi yang intens dan solutif lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah adalah kuncinya," kata dia.
FSGI menilai, tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan proses PJJ yang sudah dua fase ini, bukan alasan sekolah di zona kuning boleh dibuka kembali. Sebab, risiko nyawa dan kesehatan anak, guru, dan orang tua lebih besar ketimbang tertinggal dan tak optimalnya layanan pendidikan.