REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Inas Widyanuratikah, Idealisa Masyrafina, Rizkyan Adiyudha
Rencana pemerintah membuka kembali sekolah di zona hijau dan kuning menuai beragam reaksi. Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menegaskan, tatap muka di sekolah hanya bisa dilakukan di zona hijau dan kuning. Selain dua zona itu, Satgas belum memperbolehkan reaktivitasi belajar mengajar.
"Posisi Satgas jelas, sekolah tatap muka hanya diizinkan untuk daerah yang zonanya kuning dan hijau. Di luar (zona) itu dilarang karena kita harus peduli kepada anak didik kita," ujar Tim Komunikasi Publik Satgas Penanganan Covid-19 Tommy Soeryotomo saat dihubungi Republika, Selasa (11/8).
Ia menambahkan, jangan sampai murid-murid sampai tertular dan kemudian menciptakan klaster sekolah. Lebih lanjut, ia meminta pemerintah daerah (pemda) harus bertanggung jawab atas keselamatan jiwa warganya.
Terkait sanksi pemda di zona merah yang ngotot mengaktifkan kembali aktivitas belajar mengajarnya, ia menyebut itu bukan di wewenang Satgas. Ia menambahkan, kunci masalah ini ada di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). "Kita harus hati-hati karena tingkat penularan virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) itu tinggi sekali," katanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengatakan saat ini situasi pembukaan sekolah menggunakan sistem buka tutup. Artinya, jika sekolah di zona kuning atau hijau terdapat warga sekolah yang terpapar Covid-19 maka pembelajaran tatap muka harus langsung ditiadakan kembali.
Ia menjelaskan, jika terjadi perubahan status zona maka pembelajaran tatap muka tidak boleh dilakukan lagi. Jika terbukti ada kasus terpapar dalam satuan sekolah, Nadiem menegaskan, satuan sekolah tidak boleh melakukan tatap muka sampai kondisi aman.
"Jadinya dalam kondisi kebiasaan baru, sebagai sistem pendidikan harus belajar untuk buka tutup dengan adanya kondisi ini," kata Nadiem, dalam sebuah diskusi bertajuk 'Sekolah Tatap Muka, Amankah?', yang disiarkan melalui Youtube, Selasa (11/8).
Berdasarkan data yang dicatat Kemendikbud, Nadiem menjelaskan sebagian besar zona kuning dan hijau merupakan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Di wilayah 3T, masalah pembelajaran jarak jauh (PJJ) lebih banyak muncul dibandingkan wilayah lain.
Menurutnya jika pemerintah menggunakan kebijakan yang sama rata setiap daerah maka akan menutup kesempatan bagi peserta didik lain. "Di semua negara sistemnya seperti itu. Jadinya kita melakukan sistem menjaga keamanan kesehatan itu bukan pukul rata," kata dia lagi.
Ia menjelaskan, saat ini meskipun sekolah di zona hijau sudah sejak lama diizinkan dibuka, hanya sekitar 15-25 persen saja yang melakukan pembelajaran tatap muka. Sebab, protokol kesehatan yang diterapkan sangat ketat dan tidak semua sekolah mampu memenuhinya.
Nadiem menegaskan, dibukanya sekolah di zona kuning ini akan terus diobservasi oleh Kemendikbud. "Jadi kebijakan ini jangan ada mispersepsi. Jadi dari pusat, karena sekolah itu dimiliki daerah, dari pusat kami hanya memperbolehkan pemda dan komite sekolah mengambil keputusan," kata dia lagi.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendukung para ahli kesehatan untuk menutup sekolah kembali apabila dianggap berbahaya dan dapat menimbulkan klaster baru. Wasekjen PGRI Dudung Abdul Qodir menjelaskan bahwa kondisi anak-anak yang bermain di rumah saat ini bisa jadi berbahaya dalam penularan virus corona.
"Ada fakta di lapangan anak-anak ketika Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak ada alat karena alatnya dibawa orang tua yang mulai kerja, sehingga mereka sekarang banyak yang mulai berkeliaran di luar rumah. Ini kan berbahaya juga," ujar Dudung kepada Republika.co.id.
Menurut Dudung, ini menunjukkan indikasi bahwa efektivitas dan efisiensi pelaksanaan PJJ perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kata dia, diperlukan regulasi yang strategis dan taktis untuk menyelamatkan semuanya.
Dia mengatakan, kalau dikhawatirkan ahli kesehatan dan gugus tugas jika bahaya sekolah menjadi klaster baru, maka PGRI akan mengikuti arahan dari mereka yang ahli di bidang kesehatan. Meskipun kesehatan dianggap paling penting, PGRI berharap sekolah tetap dibuka agar anak-anak tidak ketinggalan pelajaran.
"Posisi PGRI pada saat ini adalah memberikan masukan, kalau bisa dibuka di zona hijau. Tetapi dengan menggunakan tetap protokol kesehatan kerjasama koordinasi dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan," jelasnya.
Munculnya klaster Covid-19 baru di sekolah menjadi kekhawatiran Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ketika pemerintah mulai mengizinkan sekolah tatap muka di zona kuning dan hijau. FSGI menilai, kebijakan pendidikan terkait pembukaan sekolah tersebut berkebalikan dengan fakta yang ada.
"Di satu sisi angka statistik penyebaran Covid-19 di Indonesia makin tinggi. Tetapi di sisi lain kebijakan pendidikan membuka sekolah makin longgar," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim.
FSGI menyadari jika persoalan siswa dan orang tua selama PJJ banyak mengalami kendala, khususnya secara teknis. Laporan pelaksanaan PJJ Fase I (Maret-Juni) dan PJJ Fase II (Juli-Agustus) yang diterima FSGI dan jaringannya di daerah soal persoalan teknis PJJ masih sama.
Beberapa laporan tersebut antara lain adalah tidak adanya jaringan internet, atau jaringan yang buruk. Siswa dan guru yang tidak memiliki gawai, persoalan jaringan listruk, dan metode guru yang tak kunjung optimal karena faktor geografis.
Selain itu, keluhan dari orang tua yakni ketidakmampuan mendampingi anak selama PJJ. Penugasan untuk siswa yang menumpuk dan pengeluaran yang meningkat untuk membeli kuota internet juga menjadi laporan yang banyak diterima FSGI.
Satriwan beranggapan, seharusnya pemerintah pusat dan daerah lebih dulu membenahi persoalan-persoalan PJJ tersebut. "Koordinasi dan komunikasi yang intens dan solutif lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah adalah kuncinya," kata dia.
FSGI menilai, tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan proses PJJ yang sudah dua fase ini, bukan alasan sekolah di zona kuning boleh dibuka kembali. Sebab, risiko nyawa dan kesehatan anak, guru, dan orang tua lebih besar ketimbang tertinggal dan tak optimalnya layanan pendidikan.
Rencana pembukaan sekolah di zona kuning dan hijau namun belum diikuti kesiapan sekolah. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai sekolah-sekolah belum siap melakukan pembelajaran tatap muka. Masih banyak sekolah belum membentuk tim gugus tugas Covid-19 di sekolahnya.
"Mayoritas sekolah masih bingung mempersiapkan apa saja untuk menuju kenormalan baru, mereka butuh bimbingan dan pengawasan," kata Retno.
Kesimpulan itu dia dapatkan usai KPAI mengadakan pengawasan langsung ke sejumlah sekolah di berbagai tingkatan seperti di Bekasi, Bogor, Depok, Bandung, Subang, Tangerang, Tangsel dan Jakarta. Hal itu dilakukan menyusul keputusan pemerintah yang mengizinkan pembukaan sekolah di zona kuning.
Dia mengatakan, persiapan sekolah yang tidak maksimal dalam memenuhi protokoler kesehatan Covid-19 guna mencegah penularan penyakit akan berpotensi membahayakan anak. Dia menegaskan, melindungi anak bukan dengan zona tapi dengan persiapan pencegahan bahaya penularan yang ketat.
"Pengambilan keputusan terhadap sekolah mana yang boleh dan tidak boleh membuka pembelajaran tatap muka sangat tergantung terpenuhinya kriteria persiapan yang bertujuan melindungi anak dengan indikator sehat, jujur, sabar dan cerdas," katanya.
Dia mengatakan, kepercayaan terhadap keadaan anak tetap sehat saat dilepas kembali ke sekolah sangat tergantung persiapan sekolah yang didukung semua stakeholder pendidikan. Menurunnya, kepercayaan dan keberanian orang tua melepas anak kembali belajar tatap muka di sekolah sangat tergantung dari persiapan regulasi dan praktek nyata sistem pencegahan bahaya Covid-19 di sekolah.
"Persiapan buka sekolah itulah yang dapat terukur secara ilmiah linier nyata berpengaruh langsung dengan bahaya penularan Covid-19," katanya.
Pemerintah melakukan revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri Tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Pada Tahun Ajaran Baru 2020/2021 Masa Pandemi Covid-19. Revisi tersebut yaitu memperbolehkan sekolah tatap muka di zona kuning dan hijau.
Belakangan, sebanyak 22 orang yang terdiri dari 8 orang guru dan 14 pelajar di Pontianak, Kalimantan Barat dinyatakan positif Covid-19. Hasil tes usap tersebut lantas membuat rencana pelaksanaan belajar mengajar secara tatap muka ditunda.
Hal serupa juga terjadi di Sambas, Kalimantan Barat. Sedikitnya dua pelajar SMPN 1 Sambas terkonfirmasi positif Covid-19 setelah dilakukan tes usap. Sekolah tatap muka pun kembali dihentikan.