REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pelibatan militer dalam pencegahan dan penindakan terorisme di Indonesia ‘memukul’ mundur pemajuan hak asasi manusia (HAM). Mantan Komisioner Komisi HAM Negara-negara Asia Tenggara (AICHR) Rafendi Djamin menegaskan, peran militer dalam penanganan terorisme di dalam negeri, pun bertentangan dengan hukum perang (humaniter) internasional, bahkan tak selaras dengan misi Dewan Keamanan Perseritakan Bangsa Bangsa (DK PBB).
Rafendi mengingatkan, agar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berhati-hati dalam wacana perluasan peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengentasan terorisme. Kata dia, Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) Tugas TNI dalam Penanganan Tindak Pidana Terorisme bikinan pemerintah, mengancam Indonesia keluar dari jalur penegakan hukum dan keadilan dalam mengatasi aksi kriminal.
“Rancangan Perpres tentang tugas TNI untuk penanganan terorisme itu harus ditolak karena banyak bertentangan dengan norma hukum dan hak asasi, juga hukum internasional,” kata Rafendi dalam pernyataan tertulis yang diterima Republika, Selasa (11/8).
Rafendi menerangkan, ada sejumlah alasan penolakan keterlibatan TNI tersebut. Alasan paling utama, yakni komitmen Indonesia dalam misi internasionalnya, pun juga tentang fungsi TNI itu sendiri.
Kata dia, Indonesia, Agustus ini resmi menjadi Ketua DK PBB. Prioritas utama negara-negara anggota DK PBB dalam beberapa tahun terakhir, dan di masa-masa mendatang, memastikan misi perdamaian dunia. Termasuk, kata dia, misi memajukan cara-cara nonmiliter dalam kontraterorisme. Indonesia, sebagai Ketua DK PBB, diharuskan memahami misi perdamaian tersebut, dengan tak asal menerbitkan perundang-undangan dalam negeri yang bertentangan dengan misi perdamaian dunia.
“Peran penting Indonesia sebagai Ketua DK PBB, seharusnya tidak dipermalukan, atau dilumpuhkan, atau dilemahkan oleh upaya sebagian politikus, dan pejabat pemerintah, dan TNI untuk memaksakan keluarnya Perpres keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme itu,” kata Rafendi menjelaskan.
Kata dia, jika pemerintah tetap ngotot menerbitkan Perpres tersebut, sama artinya menjauhkan Indonesia sebagai komandan diplomatik di PBB untuk perdamaian dunia.
Rafendi pun menerangkan, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme jauh dari praktik pemajuan HAM di dalam negeri. Dalam HAM, dan humaniter, tindakan terorisme lokal, pun jaringan internasional diwajibkan tunduk pada penegakan hukum dan keadilan, lewat mekanisme dan sistem peradilan. “Bukan diselesaikan dengan hukum perang, atau diselesaikan dengan situasi berperang,” kata Rafendi.
Kata dia, keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme, baru boleh diandalkan jika sistem penegakan hukum via pengadilan, sudah tak lagi mampu memberikan penghakiman terhadap pelaku aksi terorisme. Selama ini, penanganan terorisme di Indonesia, sudah berjalan pada sistem penegakan hukum lewat mekanisme pengadilan.
“Bahwa pelibatan militer, dapat diterapkan, jika tidak tersedia lagi, atau tidak dapat lagi melakukan penegakan hukum,” ujar Rafendi.
Pekan lalu, Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan rampungnya R-Perpres Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme. Mahfud mengatakan, rancangan aturan tersebut, berisikan sejumlah perluasan militer dalam kontraterorisme. Kata Mahfud, TNI memiliki sejumlah instrumen, dan pasukan elite yang mampu ‘berperang’ melawan terorisme. Menurut dia, mubazir jika pasukan dan satuan tersebut, tak diterjunkan dalam penuntasan kelompok teroris.