REPUBLIKA.CO.ID, Ada enam misi utama ulama yang dijelaskan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW.
Pertama, transformasi keilmuan. Tugas utama ulama adalah mencerdaskan umat melalui transformasi ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan meliputi seluruh perangkat ilmu bagi tegaknya peradaban, mulai dari ilmu agama sampai ilmu umum. Ilmu ibarat cahaya penerang bagi perjalanan umat dalam menempuh peradaban gemilang sehingga mampu membebaskan mereka dari kegelapan, kebodohan, dan kesesatan. Mustahil rasanya bila kita bercita-cita besar, tetapi tidak dibarengi ketinggian ilmu.
Dakwah tanpa ilmu berarti mendakwahkan kebodohan. Dakwah atas nama kebodohan lebih banyak madharat-nya bagi umat. Munculnya sosok ulama maupun dai karbitan yang mengedepankan popularitas dan retorika hanya melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan, bukan tuntunan dan gerakan.
Sebab itu, para penganjur dakwah dan penebar ilmu wajib berilmu. Bagaimana mereka hendak menebar ilmu jika dirinya terperangkap dalam kebodohan? Bagaimana menerangi umat bila dirinya sendiri dalam kegelapan?
Tanpa ilmu, mereka bukan memberi cahaya dan pencerahan, tetapi merusak dan menghancurkan peradaban umat. Mereka memahami ajaran seenaknya tanpa disertai metodologi ilmu yang benar sehingga melahirkan ajaran sesat.
Kedua, amal dan teladan. Selain berilmu, ulama dituntut memiliki kekuatan teladan. Keilmuan tanpa amal perbuatan, sia-sia. Seorang ulama mesti menjadi teladan yang baik bagi umat, dirinya, dan ilmunya sendiri.
Tanpa teladan, alih-alih seruan akan didengar justru menjadi bencana bagi dirinya sendiri. Teladan lebih ampuh dari 1001 petuah.
Nabi Muhammad SAW SAW berdakwah selama 23 tahun dibentuk di atas kapasitas qudwah (teladan). Beliau tak sekadar transformator ilmu, tapi juga sosok yang mengampanyekan kebenaran dari pelosok ke pelosok.
Bukan tipologi cendekiawan menara gading yang berbicara ini dan itu, seolah ilmu cukup berhenti sebatas pesan verbal (tabligh). Padahal, ilmu sejatinya meliputi misi pencerdasan, pencerahan, partisipasi, dan pemberdayaan umat.
Falsafah ummi Rasulullah bukan berarti buta ilmu, tapi buta dari ilmu-ilmu yang tidak mengandung daya gerak dan semangat perubahan. Misalnya, cukup berceramah di televisi atau menulis di media kemudian tidak melakukan apa-apa.
Ilmu mestinya memancarkan nuansa egaliter, transformatif (mengangkat harkat dan martabat umat), emansipatif (memberdayakan potensi umat), dan revolusioner (memiliki kekuatan perubahan/taghyir dan perbaikan/tanshif).
Bukankah ilmu bertujuan menyelamatkan umat dari kebodohan menuju ilmu pengetahuan (tahwil al-jahalah ila al-ma'rifah), dari ilmu ke gerakan (min al-ma'rifah ila al-harakah), dari gerakan ke peradaban (min al-harakah ila al-hadlarah)?
Ketiga, tahu skala prioritas. Para nabi memulai dakwah dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal mendasar. Membangun atap sebelum fondasi, alih-alih atap bisa tegak justru akan runtuh.
Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang (furu') sebelum tauhid (ushul) ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati. Keempat, para ulama mesti berkarakter. Karakter adalah kepribadian yang melekat pada diri seseorang.
Karakter bukan tabiat pembawaan pasif dan pemberian, tapi syakhshiyyah yang mengalami proses (tasykhish/being to be). Karakter adalah pencitraan akhlak. Betapa syakhshiyyah Rasulullah sebagai Al-Amin dahsyat pengaruhnya di kemudian hari saat beliau harus menyampaikan kebenaran wahyu dengan risiko munculnya resistensi pendustaan.
Kelima, menyadari risiko dakwah. Ketika para ulama diterjunkan, jangan berharap mendapat sambutan istimewa dari masyarakat setempat. Di mana pun, selalu ada lima kelompok orang dalam menyikapi dakwah.
Dalam Fiqh Al-Harakah fi Al-Mujtama, Gamal Mazhi menyebut lima konsekuensi dakwah, yaitu apatis (mendukung tetapi tidak mengikuti (ashabun), mengikuti (hawariyyun), menolak (mad'u), dan bukan saja menolak bahkan menghalangi (mu'aridh).
Keenam, mengikhtiarkan persatuan. Persatuan merupakan kekuatan umat. Persatuan dan kesatuan umat tidak datang sendiri, tapi mesti direncanakan, direkayasa, dan diikhtiarkan. Umat masih bercerai-berai sehingga mereka mudah terjebak oleh gesekan horizontal yang tidak perlu dan pada gilirannya mengabaikan agenda besar ke depan.
Perlu cita-cita mengubah jam'iyyah (komunitas kecil terbatas) menuju jamaah (komunitas besar dan universal). Menurut M Natsir (1983), hendaknya umat menjadikan iman sebagai pilar persatuan. Timbulnya tafarruq dan tanazu' di kalangan umat bukan karena banyaknya organisasi, tapi karena di tengah-tengah perjalanan wijhah organisasi samar dan kabur. Jika perbedaan didasarkan kejujuran, niscaya memiliki titik temu.
Sosok ulama idaman umat saat ini berarti ulama berwawasan luas, memiliki integritas keumatan, paham masalah umat, berbudi pekerti luhur, memancarkan nilai keteladanan, menjadi perekat, dan pemersatu umat. Adakah sosok itu saat ini?