REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM – Satu tahun setelah pelarangan burka (pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh termasuk wajah) di Belanda, kalangan wanita Muslim melaporkan peningkatan diskriminasi dan kekerasan. Rasa frustasi mereka bertambah karena ada ironi dalam pemberlakuan undang-undang terbaru mengenai masker yang wajib dipakai di angkutan umum Belanda mengingat pandemi Covid-19.
Ingrid Gercama dan Sanne Derks melalui artikel "Larangan Burka dan Aturan Wajib Masker Buat Frustrasi Muslim Belanda" di laman Qantara, menyampaikan tentang diskriminasi yang dialami seorang Muslimah bernama Emarah (nama samaran) dan Muslimah lainnya.
Tetesan air hujan kmembasahi burka hitam Emarah yang panjang, membasahi bagian bawah pakaian hitam yang menutupi tubuh. Dia sudah tiga tahun memakai burka. "Orang sering berpikir bahwa saya memakai burka karena suami saya, tetapi sebenarnya ini pilihan saya sendiri. Saya belum punya suami ketika mulai memakai burka. Sangat sulit memakai burka. Orang melihat Anda sebagai musuh. Itu membuat saya merasa benar-benar sendirian, terpojok," tambahnya.
Emarah merasa sikap orang-orang terhadap dirinya itu tidak adil. Rasa frustrasi terlihat dalam suaranya. "Saya didiskriminasi hanya karena saya ingin menjalankan agama saya, untuk pilihan saya," katanya.
Tepat 1 Agustus lalu, sudah satu tahun sejak pemerintah Belanda menyetujui undang-undang kontroversial yang melarang pakaian yang menutup seluruh wajah. Larangan serupa yaitu di Prancis dan Belgia. Larangan Belanda melarang pakaian seperti itu dikenakan bagi warga yang menaiki transportasi umum atau di gedung-gedung umum seperti sekolah, rumah sakit, dan gedung pemerintah. Di Prancis dan Belgia, burka masih diizinkan dipakai di jalanan.
Keamanan publik adalah alasan utama yang diberikan pemerintah Belanda atas larangan tersebut, sebuah proses yang dimulai 14 tahun lalu oleh Geert Wilders, pemimpin Partai sayap kanan untuk Kebebasan. Hukuman untuk menolak melepas penutup wajah adalah denda antara 150 Euro dan 450 Euro.
Namun, menurut juru bicara Kepolisian Nasional Belanda, hanya "segelintir" orang yang didenda dalam setahun terakhir karena mengenakan pakaian itu. Emarah mengatakan, reaksi orang-orang terhadap perempuan dengan burka menjadi lebih agresif dari sebelumnya.
Saat masih legal pun orang-orang sudah bertindak agresif saat melihat orang dengan pakaian penutup wajah. Sebelum resmi dilarang, Emarah sempat mengalami kekerasan di supermarket. "Orang-orang akan memukul pergelangan kaki saya dengan keranjang belanja agar saya pindah." Setelah itu, tingkat agresivitas orang-orang meningkat secara signifikan. "Seorang pria bahkan mencoba memukul saya dengan mobilnya," ucapnya.
Suster Anne dan Truus Postma yang sedang menikmati teh di Lambertus de Zijlplein di barat Amsterdam, menyampaikan bahwa alun-alun tidak banyak mengalami perubahan sejak adanya larangan menggunakan pakaian penutup wajah. "Saya lebih suka melihat wajah mereka, tetapi hampir tidak ada wanita dengan penutup wajah seperti itu," katanya.
Sementara itu, Leila yang duduk di bangku kayu di sudut lain alun-alun mengatakan senang dengan larangan itu. "Itu terlalu berlebihan," jelasnya. "Anda tinggal di negara Eropa, mengapa Anda harus menutupi diri Anda seperti itu? Syal seperti yang saya pakai sudah cukup bagus."
Giulio Bonotti, seorang pekerja Somalia-Italia untuk dewan kota, juga senang dengan undang-undang tersebut. "Saya sama sekali tidak suka kerudung itu, itu penyiksaan," ujarnya. "Sepertinya wanita itu tidak berharga sama sekali, mereka berhak melarang burka."
Namun, bagi Emarah, Belanda kini makin tidak toleran. Dia memandang hukum sebagai serangan terhadap Islam dan mengatakan hukum itu secara langsung bertentangan dengan haknya atas kebebasan beragama, seperti yang diabadikan dalam konstitusi Belanda dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
Jika dipaksa untuk melepas burka, Emarah menganggap itu memalukan. Apalagi ini adalah pilihan dirinya untuk memakai. "Saya ingin membuat pilihan untuk melepasnya," tuturnya.
Safa, seorang Muslim berusia 30 tahun, merasa larangan tersebut menebarkan ketakutan di kalangan masyarakat Muslim yang lebih luas, meskipun hanya sebagian kecil wanita, mungkin 150, yang mengenakan burka atau niqab di Belanda. Beberapa temannya yang lebih religius konservatif telah beremigrasi ke negara lain, khususnya Inggris. "Mereka tidak merasa diterima di sini lagi," jelasnya.
Kendati begitu, Emarah dan wanita lain yang mengenakan niqab atau burka melihat adanya ironi dalam aturan baru Covid-19 di Belanda. Aturan baru ini mewajibkan menggunakan masker di angkutan umum. Wanita, tampaknya, sekarang dihukum karena memakai dan tidak memakai penutup wajah, tergantung pada tujuannya.
"Ini benar-benar kontradiktif," kata Emarah, yang menganggap kesehatan masyarakat dianggap sebagai alasan yang dapat diterima untuk menutupi wajah, tetapi keyakinan agama tidak.
Sejumlah organisasi, yang dipimpin kelompok Don't Touch My Niqab, sekarang meminta Kementerian Luar Negeri Belanda, Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat untuk mencabut undang-undang yang melarang burka dan niqab. Mereka meminta itu dicabut karena ada aturan Covid-19 baru-baru ini. Menurut mereka, argumen hukum yang mendukung larangan tersebut tidak berlaku.