REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ancaman resesi sudah di depan mata meskipun pemerintah sudah mulai membuka aktivitas ekonomi sejak Juni. Apalagi, pada kuartal I 2020 ini Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,32 persen. Apabila benar terjadi, ini akan menjadi resesi ekonomi pertama sejak 1998.
Dalam mendefinisikan resesi, Vice President Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menyebutkan, Indonesia masih menggunakan basis pertumbuhan secara tahunan (year on year/yoy). Perhitungan ini berbeda dengan banyak negara yang memakai pertumbuhan secara kuartalan (q-to-q).
Apabila melihat pertumbuhan kuartalan, Indonesia sebenarnya sudah mengalami resesi. Pada kuartal kedua, ekonomi menyusut 4,19 persen (quarter to quarter/qtq), mengikuti kontraksi 2,41 persen pada kuartal pertama (qtq).
Namun, Josua mengatakan, karena menggunakan basis pertumbuhan tahunan, maka Indonesia belum dikatakan masuk ke resesi teknikal. "Teknikal resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan tahunan yang mengalami pertumbuhan negatif pada dua kuartal berturut-turut. Jadi Indonesia belum teknikal resesi," katanya dalam keterangan resmi, Rabu (5/8).
Josua menjelaskan, alasan Indonesia menggunakan basis pertumbuhan tahunan karena masih belum menghilangkan faktor musiman dalam data PDB. Faktor musiman tersebut seperti Hari Raya Idul Fitri dan beberapa faktor pendorong lain di bulan-bulan tertentu. Situasi berbeda dengan negara lain yang sudah menghilangkan faktor musiman itu, seperti Korea Selatan.
Dengan kondisi tersebut, Josua menyebutkan, tidak akan adil bagi Indonesia apabila berbicara resesi dengan basis kuartalan. "Tidak fair kalau ngomongin q-to-q. Misal, kuartal kedua ada Lebaran, maka kuartal ketiga pasti melambat," ujarnya.