REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Senator Amerika Serikat (AS) Kamala Harris ditunjuk sebagai calon wakil presiden Joe Biden dalam pemilihan November mendatang. Hal ini menunjukkan Harris berhasil bangkit dari keterpurukan setelah kalah dalam perebutan kursi calon kandidat presiden dari Partai Demokrat tahun lalu.
Gelombang unjuk rasa yang menentang ketidakadilan rasial memperkuat sosoknya di mata pemilih Amerika. Dalam aksi-aksi menentang rasialisme dan brutalitas polisi terhadap masyarakat kulit hitam, Harris tampil sebagai pendukung reformasi peradilan dan sosial yang gigih.
Dalam aksi yang dipicu kematian laki-laki kulit hitam George Floyd di tangan polisi kulit putih itu, Harris memprotes diskriminasi rasial baik saat di senat, di jalan atau di televisi, serta radio. Kegigihannya mengganggu banyak pihak.
Banyak anggota senat dari Partai Republik dan Presiden Donald Trump mengkritiknya dengan keras. Presiden organisasi non-profit National Urban League dan aktivis yang lama bekerja sama dengan Harris, Marc Morial, mengatakan perempuan kulit hitam itu berani menghadapi siapa pun.
"Dia sangat tegas, dia memiliki kemampuan untuk berhadapan satu lawan satu dengan siapa pun," kata Morial, Rabu (12/8).
Bagi Harris yang pernah menjadi jaksa dan jaksa agung Negara Bagian Kalifornia, gelombang unjuk rasa anti-rasialisme membuatnya memiliki tujuan yang jelas. Sesuatu yang kerap hilang dalam kampanyenya tahun lalu.
Perempuan berusia 55 tahun itu memulai kampanye calon presiden dari Partai Demokrat dengan kuat. Tapi akhirnya kandas karena strategi yang tidak tegas. Di awal kampanye Harris menempatkan dirinya bersama calon-calon progresif yang mendorong reformasi besar-besaran seperti Elizabeth Warren dan Bernie Sanders.
Lalu ia mulai bergerak ke sayap moderat terutama di sejumlah isu seperti jaminan kesehatan nasional. Akhirnya Harris menghentikan kampanyenya pada Desember 2019 sebelum pemungutan suara pemilihan kandidat calon presiden dari Partai Demokrat dimulai.
"Dia mencoba bermain sedikit ke tengah dan mencoba semua hal ke semua orang, sekarang ia memiliki suara yang lebih jelas, sosoknya di mata publik menjadi lebih jelas," kata pakar strategi politik Partai Demokrat yang pernah bekerja untuk Hillary Clinton, Joel Payne.
Selama kampanye calon presiden tahun lalu, latar belakangnya sebagai penegak hukum membuat Harris rentan terhadap serangan. Ia kerap dikritik tidak melakukan penyelidikan menyeluruh dalam kasus-kasus penembakan yang dilakukan polisi dan terlalu sering menghukum orang dengan dakwaan yang tidak tepat.
Beberapa hari setelah George Floyd tewas di tangan polisi Minneapolis pada Mei lalu, Harris ikut turun ke jalan bersama pengunjuk rasa di Washington.
Di senat bersama senator Cory Booker yang juga berkulit hitam, Harris menjadi ujung tombak upaya Partai Demokrat mengatasi brutalitas polisi. Ia juga menentang reformasi yang diajukan Partai Republik dengan keras, langkah yang menurutnya hanya 'basa-basi'.