Rabu 12 Aug 2020 13:14 WIB

Mengoptimalkan Organisasi Penggerak Muhammadiyah dan NU

Organisasi Penggerak Muhammadiyah dan NU tak bisa diabaikan dalam pendidikan

Sejumlah murid Madrasah Ibtidaiyah (MI) mengikuti kegiatan belajar secara tatap muka. (Ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah murid Madrasah Ibtidaiyah (MI) mengikuti kegiatan belajar secara tatap muka. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO. ID --  Oleh Faozan Amar. Direktur Eksekutif Al Wasath Insitute dan Dosen FEB UHAMKA

Salah satu keunggulan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah kebhinekaan, baik dari segi suku, agama, ras, golongan, kuliner, seni, budaya, pariwisata dan sebagainya. Kebhinekaan itu disatu sisi merupakan anugerah yang luar biasa dari Allah Yang Maha Kuasa, namun disisi lain jika tak mampu mengelolanya dengan baik maka akan mendatangkan musibah. Beruntung negara ini didirikan oleh founder yang memiliki latar belakang berbeda dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan ideologi negara.

Organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, tidak hanya memiliki kiprah dalam membangun bangsa, tetapi juga ikut terlibat secara aktif dalam memerdekakan dan mendirikan bangsa, termasuk merumuskan dasar negara. Bahkan kedua ormas tersebut berdiri sebelum Indonesia merdeka. Jadi jangan pernah meragukan komitmen dan kiprahnya, karena keduanya bukan organisasi kaleng-kaleng, yang dibentuk hanya untuk mendapatkan “proyek” sesaat.

Sekalipun keduanya berbeda tapi tak bisa dipisahkan. KH. Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum PBNU, mengibaratkan keduanya seperti sepasang sandal jepit, sekalipun berbeda antara sandal yang kanan dengan sandal yang kiri tetapi keduanya saling melengkapi. Jika salah satu tidak ada maka yang lainnya tidak bisa gunakan dengan sempurna. Sebuah tamsil yang ciamik.

Hal ini terbukti ketika Muhammadiyah dan NU, yang kemudiaan diikuti oleh PGRI, menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, membuat Mas Menteri kalang kabut. Semestinya, sebagai Menteri yang mewakili generasi milenial, Nadiem Anwar Makarim jangan berfikir tentang masa depan saja, tetapi juga harus belajar sejarah masa lalu dan jasa-jasa para pendahulu kita.

Bung Karno berpesan Jas Merah; jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Karena dari sejarah itulah kita tahu masa lalu yang menjadi cikal bakal masa sekarang. Dan dari masa lalu itu pula kita belajar agar kehidupan hari ini dan masa yang akan mendatang menjadi lebih baik. Pesan itu kemudian diikuti dengan diksi yang agak mirip, yakni Jas Hijau; jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama. Karena para ulama dengan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya telah berjuang mengorbanan pikiran, tenaga, harta, jiwa dan raganya untuk agama dan bangsa.  

Oleh karena itu, dengan rekam jejak dan sepak terjangnya selama ini sebelum Indonesia merdeka hingga hari ini, maka “memperlakukan” Muhammadiyah dan NU sama dengan organisasi “yang baru kemarin sore”, tentu kurang bijak. Sebagai contoh, kalau mau minta akte pendirian organisasi yang dimiliki Muhammadiyah dan NU, tentu yang mengeluarkan adalah pemerintah Belanda dan dengan Bahasa Belanda. Sebab keduanya berdiri 1912 dan 1926 ketika Indonesia masih di jajah Belanda.

Maka langkah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan permintaan maaf kepada Muhammadiyah dan NU serta mendatangi kedua pimpinan organisasi tersebut, sesungguhnya itu adalah langkah yang bijak sekalipun terlambat. Tentu itu lebih baik dari pada sama sekali.

"Dengan penuh rendah hati, saya memohon maaf atas segala keprihatinan yang timbul dan berharap agar tokoh dan pimpinan NU, Muhammadiyah, dan PGRI bersedia untuk terus memberikan bimbingan dalam proses pelaksanaan program yang kami sadari betul masih belum sempurna," kata Nadiem (28/7).

Namun demikian, permintaan maaf tersebut tetap tidak menghilangkan pendirian Muhammadiyah dan NU yang tahun ini belum bergabung bergabung dalam Program Organsiasi Penggerak. Tetapi yakinlah keduanya akan tetap menggerakan Pendidikan Indonesia dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebab keduanya memiliki lembaga Pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak (Raudhatul Athfal) sampai Perguruan Tinggi, Pondok Pesantren, Majelis Taklim dan sebagainya yang jumlahnya lebih banyak dari milik pemerintah. Sebagai contoh; Per Juni 2019, Muhammadiyah memiliki 166 Pergurun Tinggi Muhammadiyah (PTM), sedangkan Perguruan Tinggi Negeri dibawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 122 PTN.

Hal ini juga diakui oleh Nadiem ; “Tanpa peran aktif organisasi dengan sejarah perjuangan yang panjang, pencapaian pendidikan kita tidak mungkin sampai pada titik ini. Untuk itu merupakan kehormatan bagi kami untuk bisa berdiskusi dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak demi kesuksesan Program Organisasi Penggerak,” ungkap Mendikbud (24/7). Karena itu, langkah Kemendikbud melakukan evaluasi terhadap  Program Organisasi Penggerak harus kita apresiasi. Sehingga melalui evaluasi tersebut diharapkan memperoleh strategi yang baik dalam menjalankan program.

Sambil Kemendikbud melakukan evaluasi yang komprehensif, Muhammadiyah, NU dan PGRI biarkan tetap bergerak untuk menjalankan program-programnya dalam membantu Pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas kita bersama adalah bagaimana mengoptimalkan organisasi penggerak semaksimal mungkin untuk menjalankan program kerja dan sebagai ikhtiar mewujudkan tujuan organisasi. Apa yang bisa kita kerjakan dapat dilakukan dengan saling melengkapi secara gotong royong, sehingga dapat berjalan secara maksimal.

Program Organisasi Penggerak yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat belajar dari inovasi-inovasi pembelajaran terbaik yang digerakan masyarakat. Maka menjadi kewajiban Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud mengoptimalkan organisasi penggerak dengan memberikan dukungan untuk memperbesar skala gerakan agar dapat menjalankan organisasi secara lebih luas. Sehingga dapat mensinergikan Program Organisasi Penggerak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa di seluruh wilayah Indonesia. Wallahualam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement