REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pluto adalah sebuah dunia yang penuh dengan kejutan. Planet yang disebut sebagai dwarf atau planet kerdil tersebut bukanlah bebatuan mati di tepi Tata Surya.
Pluto ini adalah objek aktif secara geologis dengan atmosfer tipis. Fakta-fakta ini terlihat saat penerbangan NASA, New Horizons pada 2015 berada pada titik terdekat.
Atmosfer Pluto secara khusus telah memukau para astronom. Para peneliti bingung apakah atmosfer itu permanen atau berubah seiring musim saat planet mengorbit Matahari. Untuk waktu yang lama, diasumsikan bahwa ketika Pluto mendekati Matahari, es di planet kerdil tersebut berubah menjadi gas.
Ketika bergerak lebih jauh, es mengembun dan membeku sekali lagi. Namun, sebuah studi baru yang diterbitkan di Icarus, menunjukkan bahwa kenyataannya tidak demikian. Menggunakan Observatorium Stratosfer untuk Astronomi Inframerah, atau SOFIA, para peneliti mempelajari atmosfer selama okultasi bintang.
Dilasir IFL Science, saat Pluto lewat di depar sebuah bintang, instrumen SOFIA menggunakan cahaya bintang tersebut untuk mempelajari atmosfer. Pengamatan dari observatorium dilakukan hanya beberapa minggu sebelum penerbangan New Horizons di Pluto dilakukan.
Orbit Pluto jauh lebih berbentuk telur dibandingkan Bumi. Dalam perjalanannya, selama 248 tahun mengelilingi Matahari, planet kerdil ini menghabiskan 20 tahun lebih dekat ke Matahari daripada Neptunus.
Itu terakhir terjadi antara 1979 dan 1999. Saat ini, Pluto bergerak ke orbit yang lebih dingin dan lebih jauh. Sejauh ini, atmosfernya tampaknya tidak terpengaruh.
Data menunjukkan kekaburan di atmosfer dan tidak ada perubahan antara pengamatan pada 2015 dan pengamatan dari 2011 hingga 2013. Penulis utama studi, Michael Person yang juga merupakan direktur Wallace Astrophysical Observatory dari Massachusetts Institute of Technology mengatakan Pluto adalah objek misterius yang terus-menerus mengejutkan.
“Ada petunjuk dalam pengamatan jarak jauh sebelumnya bahwa mungkin ada kabut asap, tetapi tidak ada bukti kuat untuk mengonfirmasi bahwa itu benar-benar ada sampai datanya berasal dari SOFIA. Sekarang kami mempertanyakan apakah atmosfer Pluto akan runtuh di tahun-tahun mendatang,” ujar Person.
Menurut Person, masih banyak yang belum dipahami, tetapi saat ini para peneliti terpaksa mempertimbangkan kembali prediksi sebelumnya. Atmosfer Pluto mungkin runtuh lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya, atau mungkin tidak sama sekali.
“Kami harus terus memantaunya untuk mencari tahu,” kata Person.
Kabut atmosfer terbuat dari partikel-partikel kecil dengan ketebalan sekitar 0,06-0,10 mikron, sekitar 1.000 kali lebih kecil dari rambut manusia. Ini sangat bagus dalam menyebarkan cahaya biru, memberikan nuansa biru puitis pada atmosfer Pluto.