Rabu 12 Aug 2020 16:10 WIB

Arah Kebijakan Pemerintah Soal Beras Dipertanyakan

Pola manajemen perberasan masih terpaku pada pengendalian produksi

Sejumlah buruh mengangkut padi menggunakan sepeda motor di areal persawahan Desa Bulakpacing, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (16/7/2020). Kementerian Pertanian menargetkan luas tanam di musim tanam kedua (MT-II) tahun ini atau pada periode April-September 2020 bisa mencapai 5,6 juta hektare dan diperkirakan produksi beras yang dihasilkan bisa mencapai 12,5 juta hingga 15 juta ton.
Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
Sejumlah buruh mengangkut padi menggunakan sepeda motor di areal persawahan Desa Bulakpacing, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Kamis (16/7/2020). Kementerian Pertanian menargetkan luas tanam di musim tanam kedua (MT-II) tahun ini atau pada periode April-September 2020 bisa mencapai 5,6 juta hektare dan diperkirakan produksi beras yang dihasilkan bisa mencapai 12,5 juta hingga 15 juta ton.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Arah kebijakan pemerintah terkait isu perberasan nasional dipertanyakan. Arah kebijakan perberasan nasional hingga kini masih belum beranjak dari isu peningkatan produksi untuk menjamin stok beras nasional.

"Pola manajemen perberasan juga masih terpaku pada pengendalian produksi, harga, stok, dan juga program peningkatan produksi dengan Bulog sebagai penyangganya, jika produksi kurang maka impor menjadi andalan. Ini keliru,” kata Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) David Ardhian, pada acara 'Policy Brief Forum Beras Berkelanjutan' di Bogor, dalam keterangannya kepada Republika.co.id di Jakarta, Rabu (12/8).

David menyadari beras merupakan komoditas pangan pokok yang sangat vital di Indonesia. Selain dimensi sosial, ekonomi, dan tentu saja urusan produksinya, kata dia, ketika berbicara mengenai beras maka akan sangat kental dengan urusan politik.

"Beras memang urusan politik. Apapun kebijakan yang menyangkut beras, yang muncul adalah dimensi politik, bukan ekonomi, ekologi, sosial budaya," keluhnya.

Konsekuensi dari kebijakan ini, David mengatakan, petani termasuk juga buruh tani, sebagai salah satu stakeholder perberasan nasional, hanya menjadi obyek kebijakan pemerintah saja. Petani memang banyak diguyur oleh insentif berupa input pertanian seperti subsidi pupuk--yang seringnya juga tidak tepat sasaran--bantuan alat mesin pertanian, permodalan dan lain-lain.

“Sayangnya, ketika panen, petani tidak mendapatkan harga panen yang fair,” ujarnya.

Ketiadaan regulasi yang membatasi impor saat panen raya, menurut David, membuat harga beras petani kerap jatuh. Ketika petani dihadapkan pada kondisi ekonomi yang tak berkeadilan, maka buruh tani juga akan terdampak. Dalam konteks ini, isu keberlanjutan kemudian menjadi isu yang sangat termarjinalkan. Semakin turunnya jumlah rumah tangga pertanian, regenerasi petani masih hanya menjadi isu yang digaungkan secara terbatas di kalangan masyarakat sipil dan belum menjadi isu utama oleh pemerintah.

"Padahal saat ini gagasan isu beras yang dikembangkan sudah melangkah ke isu sustainability," kata David.

Maya Stolastika, petani organis yang juga merupakan Ketua Aliansi Organis Indonesia mengatakan, berbicara mengenai sustainibility, fakta adanya peningkatan produksi dan permintaan atas produk beras sehat atau produk organis bisa menjadi pintu masuk menuju terwujudnya platform beras berkelanjutan. "Peningkatan ini juga diikuti dengan kenaikan luasan lahan pertanian organik," katanya.

Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk dikembangkan menjadi identitas pertanian dari hulu ke hilir. "Mulai dari petani, lingkungan pertanian, produk beras, semua dikaitkan dengan environtment," jelas Maya.

Staff Advokasi Yayasan Bina Desa Lodji mengatakan, isu yang bisa menjadi tantangan dalam mewujudkan platform beras berkelanjutan saat ini adalah terkait pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut dia, hingga kini cukup banyak pasal dalam RUU Ciptaker bagi sektor pertanian-pangan yang secara radikal bisa membuat perubahan atas pasal-pasal strategis dalam UU Pangan dan UU Pertanian Berkelanjutan.

"Secara garis besar perubahan-perubahan tersebut hendak menyetarakan pangan produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dengan pangan hasil impor. Tentunya salah satu komoditasnya adalah beras," jelasnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement