Rabu 12 Aug 2020 17:33 WIB

Inggris Resmi Resesi, Terparah Dibanding Ekonomi Kuat Lain

Pertumbuhan ekonomi Inggris turun 20,4 persen pada kuartal II.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Inggris
Bendera Inggris

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Inggris secara resmi memasuki masa resesi. Data menunjukkan, Produk Domestik Bruto (PDB) Inggris turun 20,4 persen pada kuartal kedua dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.

Realisasi ini mendorong Inggris ke jurang resesi terdalam dibandingkan ekonomi global utama mana pun di dunia. Seperti dilansir di CNN, Rabu (12/8), penurunan PDB pada periode April sampai Juni ini menjadi yang terburuk sejak pencatatan kuartalan dimulai pada 1955. Sebelumnya, pada kuartal pertama, ekonomi Inggris mencatatkan kontraksi 2,2 persen.

Baca Juga

Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak mengatakan, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua mengonfirmasi, Inggris tengah mengalami masa-masa sulit. Ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan dan akan lebih banyak lagi orang yang menjadi pengangguran dalam beberapa bulan mendatang.

Tapi, Sunak menjelaskan, Inggris akan mampu melewati situasi penuh tekanan saat ini dengan berbagai pilihan yang harus dibuat pemerintah. "Saya dapat meyakinkan orang-orang, tidak ada di antara mereka yang akan ditinggalkan tanpa harapan atau kesempatan," katanya.

Dibandingkan dengan akhir 2019, output ekonomi Inggris turun secara kumulatif 22,1 persen pada semester pertama. Realisasi ini lebih buruk dibandingkan Jerman, Prancis dan Italia. Kontraksi Inggris bahkan mencapai dua kali lipat dari ekonomi Amerika yang turun 10,6 persen.

Kantor Statistik Nasional (ONS) menyebutkan, kontraksi yang lebih besar ini terutama mencerminkan dampak dari kebijakan lockdown yang telah dilakukan.

Diketahui, kebijakan lockdown Inggris diaplikasikan lebih telat dibandingkan negara lain. Pembatasan secara ketat di Inggris baru diberlakukan pada dua pekan setelah Italia, 10 hari setelah Spanyol dan sepekan setelah prancis. Itu berarti, Inggris akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengendalikan penyebaran virus yang berarti banyak bisnis harus tutup dalam kurun waktu yang panjang.

Misalnya saja, Italia sudah mengizinkan restoran, kafe dan salon buka kembali pada pertengahan Mei. Sedangkan, Inggris Raya harus menunggu sampai awal Juli untuk melakukan hal yang sama.

Meski telat, pelonggaran pembatasan memberikan dampak pada ekonomi Inggris. ONS mencatat, pembukaan kembali toko-toko nonessentials pada Juni memberikan dorongan langsung pada perekonomian. PDB di bulan tersebut meningkat 8,7 persen.

Ekonom senior di Berenberg, Kallum Pickering, menjelaskan, angka PDB Inggris tidak menunjukkan pertanda baik untuk sisa tahun ini. "Kontraksi yang lebih besar dibandingkan perkiraan kami menunjukkan potensi ekonomi Inggris akan mengalami kontraksi 9,5 persen sepanjang 2020," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement