Rabu 12 Aug 2020 22:48 WIB

Menlu Jerman: Lebanon Butuh Pemerintahan Bersih dari Korupsi

Menlu Jerman berkunjung ke Beirut Lebanon untuk memberikan bantuan.

 Orang-orang bentrok dengan polisi selama protes terhadap elite politik dan pemerintah setelah ledakan mematikan minggu ini di pelabuhan Beirut yang menghancurkan sebagian besar ibu kota dan menewaskan lebih dari 150 orang, di Beirut, Lebanon, Sabtu, 8 Agustus 2020.
Foto: AP/Hussein Malla
Orang-orang bentrok dengan polisi selama protes terhadap elite politik dan pemerintah setelah ledakan mematikan minggu ini di pelabuhan Beirut yang menghancurkan sebagian besar ibu kota dan menewaskan lebih dari 150 orang, di Beirut, Lebanon, Sabtu, 8 Agustus 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Menteri Luar Negeri Jerman, Heiko Maas, mengatakan bahwa Lebanon membutuhkan pemerintah yang dapat memerangi korupsi dan memberlakukan reformasi.

Pernyataan  ini disa sampaikan saat mengunjungi pelabuhan Beirut, tempat ledakan dahsyat yang telah memicu protes dan membuat pemerintah mundur.

Baca Juga

Ledakan pekan lalu di sebuah gudang yang menyimpan bahan yang sangat mudah meledak selama bertahun-tahun menewaskan sedikitnya 171 orang, melukai sekitar 6.000 orang, dan merusak sebagian Beirut.

"Tidak mungkin semuanya berjalan seperti sebelumnya. Komunitas internasional siap untuk berinvestasi tetapi membutuhkan sekuritas untuk investasi ini. Penting untuk memiliki pemerintahan yang memerangi korupsi," kata Maas, Rabu (12/8).

"Banyak orang di Eropa memiliki ketertarikan untuk negara ini. Mereka ingin tahu bahwa ada reformasi ekonomi dan pemerintahan yang baik. Siapa pun yang mengambil alih tanggung jawab di Lebanon harus melakukan banyak hal," kata Maas menambahkan.

Maas memberikan cek senilai lebih dari 1 juta euro (sekitar Rp17,3 miliar) kepada Palang Merah Lebanon, bagian dari total 20 juta euro (setara Rp347,3 miliar) bantuan kemanusiaan dari Jerman.

Bantuan kemanusiaan internasional telah mengalir masuk tetapi negara-negara asing telah menjelaskan bahwa mereka tidak akan menulis cek kosong kepada negara yang dipandang oleh rakyatnya sendiri sebagai negara yang sangat korup.

Para donor sedang mengupayakan diberlakukannya reformasi yang telah lama dituntut dengan imbalan bantuan keuangan untuk menarik Lebanon dari kehancuran ekonomi.

Pengunduran diri pemerintahan Perdana Menteri Hassan Diab telah menjerumuskan Lebanon ke dalam ketidakpastian yang lebih dalam. Pembicaraannya dengan Dana Moneter Internasional untuk dana talangan telah ditunda karena perselisihan antara pemerintah, bank, dan politisi tentang skala kerugian finansial yang besar.

Duduk di tengah puing-puing, warga Lebanon mengungkapkan rasa frustrasi mereka kepada negara karena meninggalkan mereka dalam keputusasaan mereka untuk membangun kembali rumah dan bisnis yang hancur akibat ledakan itu.

"Siapa yang tahu apa yang akan terjadi. Bagaimana kami akan kembali ke bisnis," kata Antoinne Matta (74) yang toko brankas dan kuncinya rusak parah akibat ledakan itu. Lima karyawannya terluka."Kami di Lebanon terbiasa dengan pemerintah yang tidak melakukan apa-apa."

Kerusuhan telah meletus dengan warga Lebanon menyerukan penghapusan kelas penguasa secara besar-besaran yang mereka anggap bertanggung jawab atas kesengsaraan negara. Krisis keuangan telah merusak mata uang, melumpuhkan bank, dan membuat harga-harga melonjak.

Para pejabat mengatakan ledakan itu bisa menyebabkan kerugian 15 miliar dolar AS (Rp 221,1 triliun), tagihan yang tidak dapat dibayar Lebanon, mengingat kedalaman krisis keuangan yang telah membuat orang-orang membekukan rekening tabungan mereka sejak Oktober di tengah kelangkaan dolar.

Bank sentral telah menginstruksikan bank-bank lokal untuk memberikan pinjaman dolar tanpa bunga kepada individu dan bisnis untuk perbaikan penting, dan pada gilirannya akan memberikan pendanaan kepada lembaga-lembaga keuangan tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement