Kamis 13 Aug 2020 08:50 WIB

'Banyak Calon Tunggal di Pilkada 2020, Demokrasi Merosot'

Masyarakat akan menjadi apatis, jika calon kepala daerahnya saja hanya kotak kosong.

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Tim Kuasa Hukum calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makasar, Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (kiri) mangajukan permohonan atas sengketa Pilkada 2018 di Makasar melawan kotak kosong, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Galih Pradipta
Tim Kuasa Hukum calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makasar, Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (kiri) mangajukan permohonan atas sengketa Pilkada 2018 di Makasar melawan kotak kosong, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Direktur Eksekutif Pusat Sosial dan Politik Indonesia (Puspolindo) Dian Cahyani menilai, banyak daerah yang diprediksi memiliki calon tunggal pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020. Fakta ini menjadi bukti sebagai kemerosotan bagi demokrasi. Tercatat ada sekitar 31 daerah yang berpotensi terjadi calon tunggal, termasuk di Pilwakot Kota Solo yang diikuti anak Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Ini menunjukkan kegagalan di internal partai politik dalam mencetak figur atau calon untuk berani maju. Dampak krisis calon figur yang diusung membuat persaingan di Pilkada juga tidak kompetitif," kata Dian dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (13/8).

Dikatakan Dian, tidak menutup kemungkinan juga, masyarakat akan menjadi apatis, jika calon kepala daerahnya saja hanya kotak kosong. Harusnya, partai politik harus membuat strategi agar masyarakat tidak apatis, dan juga masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dengan tepat. Sehingga melawan kotak kosong akan lebih berat dibanding melawan figur pesaing. 

"Seperti halnya yang terjadi pada Pilwakot Makassar 2018 lalu, itu tercatat dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal yang punya visi dan misi," ucapnya.

Menurut Dian, banyaknya calon tunggal di Pilkada serentak 2020 ini juga tidak terlepas dari adanya syarat ambang batas 20 persen dalam UU Pilkada. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

"Adanya syarat ambang batas 20 persen ini bisa dianggap memperbesar peluang Pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal. Ke depan, jika tak bisa ditiadakan, syarat ambang batas ini sebaiknya diturunkan menjadi 10 persen atau bahkan 5 persen saja," ucap Dian. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement