REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Provinsi Jawa Barat (Jabar) menjadi primadona investasi selama paruh pertama 2020. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jabar menempati peringkat pertama realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar Rp 57,9 triliun. Investasi tersebut juga berdampak kepada serapan tenaga kerja di Jawa Barat.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengklaim akan ada 60 ribu lowongan pekerjaan yang hadir sebagai kompensasi hilangnya pekerjaan karena pandemi Covid-19. Ridwan Kamil mengatakan, hadirnya investasi di Jawa Barat merupakan realisasi dari komitmen investasi yang datang ketika safari bisnis tahun lalu ke negara-negara sumber investasi. Selain harus secara proaktif untuk menindaklanjuti komitmen yang ada, pemerintah pusat pun harus memberikan kemudahan investasi. Terutama, dari negara lain untuk masuk.
Sehingga, menurut Ridwan Kamil, nantinya akan mendorong perekonomian daerah dan menyerap tenaga kerja. Ia berharap, adanya harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka menarik investasi.
"Saya yakin kalau ini berhasil, ekonomi di Jawa Barat bisa melompat dan kalau bisa meningkat tentu akan mengerek naik pertumbuhan ekonomi nasional," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil, Kamis (13/8).
Menurut Emil, menarik investasi asing tidak semudah membalikkan telapak tangan karena Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain. Oleh karenanya perlu kerja sama yang solid antara pemerintah pusat dan daerah. Misalnya pemerintah pusat memberikan insentif fiskal, sedangkan pemerintah daerah memberikan kemudahan seperti lahan dan tenaga kerja.
"Dengan demikian investasi yang masuk akan mendorong perekonomian dan menyerap banyak tenaga kerja," katanya.
Emil mengatakan, ada beberapa wilayah di Jabar yang juga turut menjadi tujuan investasi asing. Di antaranya Karawang, Cikarang, dan Bekasi. Target Jabar untuk investasi masuk tahun ini adalah sebesar Rp107 triliun untuk seluruh tahun 2020.
"Untuk memenuhi target itu, kami akan melakukan strategi jemput bola ke investor dari negara-negara lain,” katanya.
Emil berharap investasi tersebut tidak hanya meningkatkan pendapatan Jabar dan ekonomi nasional, tetapi juga menjadi peluang penyerapan tenaga kerja sebagai solusi usai banyak warga yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Sementara menurut Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, ia mengapresiasi upaya pemerintah Jawa Barat dalam menjemput investasi untuk bisa direalisasikan di daerahnya. Bahlil juga, sangat mendukung pemerintah daerah yang memiliki komitmen tinggi pada kemudahan investasi. “Komitmen Pemprov Jawa Barat di bawah nahkoda Kang Emil investasi itu penting. Pemimpin pro investasi adalah pemimpin masa sekarang dan masa depan,” katanya.
BKPM juga, kata dia, mengakui terjadinya penurunan realisasi investasi sepanjang kuartal II 2020 sebesar 3,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan realisasi investasi yang cukup dalam sebesar 8,9 persen juga terjadi jika dibandingkan kuartal I tahun 2020.
Pada kuartal II tahun 2020, kata dia, investasi asing (penanaman modal asing/PMA) mencapai Rp 97,6 triliun. Sementara investasi dalam negeri (penanaman modal dalam negeri/PMDN) pada kuartal II 2020 tercatat sebesar Rp 94,3 triliun. "Capaian ini sudah lebih rendah dari ekspektasi BKPM, karena kami targetkan sekitar Rp 200 triliun (kuartal II)," ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Menyikapi hal ini, Bahlil mengatakan, ia akan proaktif mengejar investor yang telah menyatakan komitmennya dan berkomunikasi dengan mereka untuk mengetahui hambatan yang dihadapi investor. Saat ini, BKPM telah memiliki Tim Mawar, tim khusus yang dibentuk secara khusus untuk menggaet investor. "Tim Mawar mengikuti per hari, menanyakan tiap hari ke investor dan meyakinkan mereka," katanya.
Selain itu, kata dia, BKPM juga akan memfasilitasi permintaan investor jika mereka serius merealisasikan komitmennya. Terkait insentif fiskal, misalnya, investor baik yang baru mau datang maupun yang sudah datang sering menanyakan mengenai insentif pajak ke BKPM.
Menurutnya, dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2019, kewenangan pemberian insentif fiskal sudah beralih dari Kementerian Keuangan ke BKPM. Aturan tersebut membuat pemberian insentif fiskal bisa dilakuan lebih cepat. "BKPM tidak perlu lagi berlama-lama memutuskan pemberian insentif fiskal selama memenuhi kaidah yang diminta dalam Peraturan Menteri Keuangan," katanya.