REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Parlemen Lebanon telah menyetujui keadaan darurat selama delapan hari pada Kamis (13/8). Dengan demikian, militer memiliki kekuasaan besar untuk mengatur negara tersebut.
Proses atau sesi pengambilan suara di parlemen untuk memutuskan keadaan darurat tidak disiarkan televisi. Namun laporan media lokal menyebut, dari 119 anggota majelis, hanya satu yang menentang penerapan keadaan darurat. Dia adalah Osama Saad.
Keadaan darurat memungkinkan tentara untuk mengekang kebebasan berbicara dan berkumpul, termasuk kebebasan pers. Personel militer pun memiliki hak memasuki rumah dan menangkap siapa pun yang dianggap mengancam keamanan.
Diterapkannya keadaan darurat telah memicu kekhawatiran dari berbagai kelompok hak asasi manusia (HAM). Hal itu mengingat masih terdapat masyarakat yang melakukan demonstrasi menentang pemerintah di negara tersebut. Namun ketua parlemen Lebanon Nabih Berri menjamin tentara tidak akan melakukan tindakan-tindakan represif terhadap warga, termasuk pers. "Mereka tidak melakukan intervensi dan memberikan ruang untuk protes," ujarnya, dikutip laman Aljazirah.
Anggota lembaga swadaya masyarakat Legal Agenda Karim Nammour mengatakan keadaaan darurat sama sekali tidak diperlukan untuk mengatasi situasi pasca ledakan Beirut pada 4 Agustus lalu. Hal itu mengingat Lebanon telah berada dalam "mobilisasi umum" karena pandemi Covid-19.
"Mobilisasi umum ini telah memungkinkan kabinet kekuasaan untuk memobilisasi angkatan bersenjata dan untuk mengontrol gudang dan hal-hal yang bersifat strategis, termasuk mengendalikan harga barang-barang seperti kaca dan kayu, serta mengangkat puing-puing dan memberikan bantuan kepada orang-orang," kata Nammour.
Menurut dia satu-satunya alasan nyata yang dapat dilihat dari penerapan keadaan darurat negara adalah memberikan kekuatan kepada pasukan keamanan untuk mengendalikan jalan sebanyak mungkin. Selain itu memberi perlindungan hukum atas hal-hal yang tidak mungkin terjadi. "Rezim yang berkuasa tahu bahwa ia lemah dan tidak populer di jalanan, dan mereka takut karena jari-jarinya diarahkan ke mereka, dan ada seruan untuk membalas dendam," ujarnya.
Ledakan Beirut yang terjadi pada 4 Agustus lalu tak hanya menyebabkan kehancuran masif di ibu kota. Peristiwa yang menyebabkan sedikitnya 172 orang tewas dan sekitar 6.000 lainnya luka-luka itu pun telah memicu gerakan demonstrasi. Ribuan warga menganggap pemerintah bertanggung jawab atas bencana tersebut.
Mereka pun menuntut perubahan rezim. Sebelum ledakan Beirut, Lebanon telah dibekap krisis keuangan dan ekonomi yang parah. Masyarakat Lebanon sudah cukup lama menyerukan reformasi agar tak ada lagi praktik korupsi sistemik, pemborosan, dan kelalaian di pemerintahan.
Ledakan Beirut telah memaksa Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mundur pada Senin (10/8). Hal itu telah memperdalam ketidakpastian politik di Lebanon. Pembentukan pemerintahan baru masih cukup riskan mengingat adanya perpecahan faksi. Di sisi lain, kekecewaan dan ketidakpuasan publik atas kelas penguasa masih belum sepenuhnya pudar.