REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada Maret 2005 terjadi perubahan kultur politik pemilu Indonesia. Saat itu terjadi perkawinan model politik tradisional dengan ilmu pengetahuan.
Dikatakannya, sebelum Maret 2005, parpol memenangkan pertarungan pemilu dan pilkada berdasarkan insting dan pengalaman. Tapi sejak Maret 2005, parpol menggunakan data, riset, lembaga survei dan konsultan politik untuk betarung dalam pemilu atau pilkada.
"LSI Denny JA dan Partai Golkar yang memulai tradisi itu, untuk menjaring kandidat,” kata Denny, saat menjelaskan buku terbarunya, yang berjudul 'Membangun Legacy: 10 P dalam Marketing Politik, Teori dan Praktek’, Kamis (13/8).
Berdasarkan pengalamannya ikut memenangkan SBY sebagai presiden di 2004, dan Partai Golkar juara kembali di 2004, kata Denny, ia melobi Partai Golkar di 2005. Maka, menurut dia, politik pemilu pun berubah. Untuk pertama kalinya, di 2005 parpol menandatangani kerja sama dengan lembaga survei dan konsultan politikuntuk menjaring 200 calon kepala daerah.
Selanjutnya, kata Denny, tradisi parpol menggunakan lembaga survei dominan. Dan ini berlanjut sampai sekarang. Kultur politik Indonesia pun berubah dengan lahirnya para profsional di bidang marketing politik.
Selama hampir 17 tahun menjadi konsultan politik dan lembaga survei, Denny mendapat penghargaan Time Magazine, memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record, dan penghargaan dari Twitter Inc. Ia juga ikut memenangkan seluruh pemilu presiden langsung, 33 Gubernur dan 95 bupati/walikota.
Dari pengalaman tersebut, Denny menuliskannya dalam buku. Ia merumuskan teori baru dalam marketing politik, yaitu 10 P. Prinsip 10 P itu terdiri dari Pro Innovation, Public Opinion, Polling, Product, Positioning, Profiling, Pull Marketing, Push Marketing, Post-Election dan Political Legacy.
Seorang pemimpin, kata Denny, tak cukup hanya menang pemilu, dan menjadi pejabat. Ia harus pula membuat legacy, menyumbangkan “batu bata” bagi dinding pertumbuhan masyarakatnya.