REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala MTSN Jayapura Abdul Qahar mengadukan kondisi dan kendala belajar mengajar madrasah di Papua. Sebagai wilayah yang jauh dari ibukota, Qahar mengeluhkan minimnya guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sekolahnya.
Dalam kajian bedah buku Perlindungan Anak, melalui Zoom Meeting, yang dihadiri sejumlah tokoh dan pejabat Kementerian Agama (Kemenag), Kamis (13/8), Qahar mengaku minimnya guru PNS juga ditambah dengan minimnya ketersediaan guru. Menurut dia, minimnya ketersediaan guru disebabkan penerimaan kuota calon PNS (CPNS) guru yang dibatasi di Papua.
“Jumlah guru PNS di kami hanya empat orang, sedangkan guru-guru honorernya juga minim,” kata Qahar dalam diskusi tersebut.
Qahar pun meminta kepada pemerintah segera mendengarkan aspirasinya. Sebab persoalan ketersediaan guru juga sudah dibebani pula dengan pembayaran honor guru yang kian dipersulit.
Sekolah madrasah di Papua, kata Qahar, merupakan minoritas dari sisi kultur dan karakter pendidikannya. Dengan kondisi tersebut, ia meminta pemerintah dapat berlaku adil dan tidak membatasi kuota penerimaan CPNS di Papua.
“Bagaimana mau membesarkan madrasah ini kalau gurunya saja minim?” kata dia.
Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan Madrasah Direktorat Jenderal PAI Kementerian Agama, Ahmad Umar mengatakan, kendala minimnya guru PNS juga tak hanya dialami Papua. Menurutnya, masalah ketersediaan guru PNS juga terjadi di sejumlah wilayah.
“Jangankan di Papua, di Jawa juga ada madrasah yang guru PNS-nya minim. Madrasah di Pekalongan yang nilainya paling terbaik saja, guru PNS-nya cuma empat orang,” kata Umar.
Meski demikian, aspirasi Qahar akan disampaikan lebih lanjut agar dapat ditindaklanjuti. Namun, ia tidak dapat memberikan kepastian lebih jauh langkah seperti apa dari tindak lanjut yang hendak diberikan.