REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam upaya pencegahan di masa pandemi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau realisasi penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Hal ini dilakukan oleh tim yang dibentuk pada Kedeputian Pencegahan yang bekerja bersama gugus tugas di tingkat pusat maupun daerah.
"Dari hasil analisis terkait proporsi, alokasi sumber dana dan belanja, serta pemanfaatan anggaran, KPK memberikan rekomendasi agar potensi penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan di luar penanganan Covid-19 atau belanja di luar perencanaan dan kebutuhan, dapat dihindari," tegas Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati dalam keterangannya, Jumat (14/8).
KPK, lanjut Ipi, juga memberikan pendampingan dan pendapat terkait kendala teknis yang dihadapi gugus tugas. Salah satu lingkupnya adalah terkait proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) termasuk pengadaan APD. Misalnya, pada masa darurat periode April hingga Juni, saat barang langka di pasaran dan harga telah jauh berbeda dari kondisi normal, KPK mengingatkan untuk tetap berpedoman pada prinsip-prinsip PBJ yang transparan, akuntabel dan harga terbaik sesuai peraturan.
Ipi menerangkan, potensi korupsi dapat terjadi karena minimnya transparansi dan akuntabilitas. Melalui tiga surat edaran KPK mengimbau kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah agar transparan dengan mempublikasikan kepada masyarakat terkait realokasi dan penggunaan anggaran dalam penanganan Covid-19, penyelenggaraan bantuan sosial (bansos), pengadaan barang dan jasa, hingga pengelolaan hibah dari masyarakat.
Demikian juga terkait realisasi dalam penyelenggaraan bansos. Dari kajian KPK terkait Kebijakan Bantuan Sosial (Bansos) Kementerian/Lembaga pada 2012, kami menemukan empat permasalahan terkait proses pemberian bansos.
"Yaitu ketidaktepatan target penerima, tidak optimalnya koordinasi dan regulasi antar institusi pengelola bantuan, keterlambatan dan penyalahgunaan penyaluran bantuan, serta masih minimnya pertanggungjawaban dan pendampingan," ungkap Ipi.
Dalam perjalanannya, bentuk bansos yang diberikan mengalami transformasi bentuk bantuan, targeting, model pendistribusian hingga evaluasi. Namun, persoalan yang menghambat proses pemberian bansos masih sama.
Karenanya, dalam kondisi pandemi saat ini KPK masih menaruh perhatian serius dalam pengelolaan bansos yang menjadi bagian dari program jaring pengaman sosial. KPK juga telah melakukan mitigasi risiko potensi korupsi dalam pengelolaan bansos.
"Antara lain, yaitu data fiktif dan tidak memenuhi syarat; benturan kepentingan dari para pelaksana di pemerintah, baik pusat maupun daerah; pemerasan oleh pelaksana kepada warga penerima, sehingga warga tidak menerima bansos; timbulnya potensi gratifikasi atau penyuapan dalam pemilihan penyedia tertentu untuk penyaluran bansos," ujar Ipi.
Kemudian, penggelapan bantuan. Penyaluran bansos terutama pada kondisi bencana, terkadang mengalami hambatan saat distribusi untuk sampai langsung ke penerima. "Bansos berupa barang maupun uang bisa jadi diselewengkan oknum tertentu. Hal ini membuat bantuan tidak sampai ke penerima, ataupun penerima sama sekali tidak mengetahui bahwa dirinya berhak mendapatkan bantuan, " ujar Ipi.
Ipi menambahkan, jelang pilkada serentak, KPK juga turut mengawasi potensi benturan kepentingan dari kepala daerah petahana yang memanfaatkan bansos untuk perolehan simpati warga demi kepentingan politik praktis. KPK khususnya dalam pelaksanaan tugas koordinasi dan monitor, akan terus mengawal implementasi program dan kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19.