REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara (USU) Fredick Broven Ekayanta rumitnya birokrasi menyebabkan lemahnya perekonomian nasional. Menurutnya, perlu penyederhanaan regulasi agar ekonomi Indonesia bisa terus maju.
Dia mengatakan, Omnibus Law merupakan skema dari penyederhanaan regulasi tersebut. Dia melanjutkan, hal itu dapat juga merupakan langkah meminimalkan penyelewengan birokrasi serta kemampuan Indonesia dalam mempertahankan mempertahankan algoritma ekonomi.
"Tujuannya adalah untuk mempermudah bagi siapa saja untuk menanamkan saham atau modalnya di negara kita, yang akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja bagi penduduk Indonesia," kata Fedrick dalam keterangan, Jumat (14/8).
Sosiolog UIN Sumatera Utara, Purjatian Anhar berpendapat bahwa Omnibus Law yang di dalamnya memuat RUU Ciptaker berpotensi menyebabkan kegaduhan di para pekerja dan buruh. Menurutnya, ada beberapa pasal di bidang ketenagakerjaan dapat menimbulkan perspektif yang multitafsir bagi pembacanya.
Kendati, dia menilai, produk hukum itu dapat mendatangkan investasi yang akan berbanding lurus dengan peningkatan daya beli masyarakat. Dia mengatakan, masuknya investor akan mempengaruhi roda perputaran ekonomi nasional yang secara tidak langsung bakal mendorong peningkatan daya beli publik.
Salah satu pengusaha, Palacheta Subies Subianto mengakui bahwa terjadi pergolakan di kalangan pekerja dan buruh terkait RUU Ciptaker. Dia mengatakan, banyak dari mereka yang melakukan aksi penolakan terhadap RUU tersebut.
Namun, dia meminta buruh untuk untuk tidak berpikir satu atau dua langkah saja. Tetapi, sambungnya, harus memikirkan langkah yang jauh ke depan kenapa diadakannya RUU Cipta Kerja.
Salah seorang perwakilan buruh, Cuk Amek Koentjoro mengatakan, para buruh menilai pembahasan RUU tersebut tidak melibatkan banyak pihak. Dia menegaskan, buruh juga merasa kaget dengan secara tiba-tiba telah terbit ribuan lembar draft peraturan terkait dalam regulasi tersebut.
Dia mengatakan, mereka mengaku belum mengetahui kepentingan RUU tersebut. Lanjutnya, buruh juga mempertanyakan siapa yang akan diuntungkan dari adanya regulasi itu.
Mereka menilai, RUU tersebut merupakan titipan dengan mengorbankan buruh dan pekerja sebagai budak bukan sebagai aset. Dia melanjutkan, buruh sebagai pekerja hanya alat untuk memperkaya pemodal atau investor tanpa memikirkan nasib para buruh. "Padahal kami semua yang menggerakkan bisnis perekonomian para pengusaha tersebut," tegasnya.