REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Listiyo Sigit Prabowo membagi tiga bagian penyidikan dalam pengungkapan kasus Djoko Tjandra. Sementara ini, seluruh rangkaian penyidikan di Kepolisian dan Kejaksaan Agung (Kejakgung) sudah menetapkan total enam orang sebagai tersangka.
Enam tersangka tersebut, lima di antaranya ditetapkan oleh Bareskrim Polri. Mereka yaitu, tersangka Brigjen Pol. Prasetijo Utomo, dan tersangka Irjen Pol. Napoleon Bonaparte. Kedua perwira tinggi kepolisian tersebut, dituding memberikan perlindungan berupa pemberian surat, dan dokumen palsu, serta pencabutan status buronan Djoko Tjandra di Daftar Pencarian Orang (DPO) interpol. Kedua perwira itu, juga diduga menerima pembeian uang, dan janji dari Djoko Tjandra.
Bareskrim, juga menetapkan tersangka lainnya dalam kasus tersebut. Yakni, Djoko Tjandra sendiri, yang dituding memberikan uang, dan pengguna surat, dan dokumen palsu. Serta dua tersangka lainnya, pengacara Anita Kolopaking, dan Tommy Sumardi yang diketahui sebagai rekanan bisnis Djoko Tjandra. Sedangkan tersangka lainnya, ada dalam penyidikan di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejakgung, yakni Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
“Dari hasil gelar perkara bersama (KPK), kami sepakat membagi peristiwa (skandal) Djoko Tjandra ini menjadi tiga klaster (bagian),” terang Komjen Listiyo Sigit dalam konfrensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (14/8).
Bagian pertama, kata Listyo, terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi berupa penyalahgunaan kewenangan yang terjadi pada 2008 dan 2009. Terkait ini, Listyo berharap masuknya peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan pengusutan.
“Di mana nanti, akan kita dalami bersama-sama (KPK), terkait dengan penyalahgunaan kewenangan pada saat itu,” terang Listyo.
Ada dugaan, penyalahgunaan kewenangan itu, berkelindan dengan pelarian Djoko Tjandra ke Papua Nugini sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) memvonisnya dua tahun penjara terkait kasus Bank Bali.
Klaster kedua, kata Listyo rangkaian peritiwa dugaan tindak pidana yang terjadi rentang periode 2019. “Atau peristiwa yang terjadi pada akhir 2019, atau sekitar bulan November 2019,” terang Listyo.
Peristiwa November mengungkapkan adanya pertemuan antara Djoko Tjandra, dan Jaksa Pinangki, bersama Anita Kolopaking di Malaysia. “Peristiwa (pertemuan) itu terkait dengan rencana pengurusan fatwa (bebas), dan proses Peninjauan Kembali (PK) saudara Djoko Tjandra yang terjadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan,” terang Listyo.
Terkait pengurusan fatwa bebas tersebut, penyidikannya saat ini berada di JAM Pidsus Kejakgung, dengan menetapkan Jaksa Pinangki sebagai tersangka karena dituding menerima uang 500 ribu dolar atau setara Rp 7 miliar dari Djoko Tjandra. Peran Jaksa Pinangki dalam pengurusan fatwa bebas, dan PK Djoko Tjandra ini, diyakini tak sendiri.
Bagian kasus ketiga, kata Listyo, menyangkut soal penghapusan nama Djoko Tjandra sebagai buronan di DPO interpol, dan pembuatan, serta penggunaan surat juga dokumen palsu. Segmen kasus ketiga ini, kata Listyo juga disertai dengan pengusutan aliran uang haram yang mengalir ke dua perwira tinggi kepolisian, yakni tersangka Irjen Napoleon, dan Brigjen Prasetijo.
“Di mana terkait dengan peristiwa pidana aliran dana ini, penyidikan di Bareskrim Polri sudah menetapkan beberapa tersangka,” terang Listyo.
Kordinator Masyrakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, pernah mengatakan, konstruksi skandal hukum Djoko Tjandra ini memang ‘raksasa’. Itu karena skandal tersebut melibatkan oknum-oknum dari setiap institusi penegakan hukum. “Dugaannya itu adalah, misinya, tetap untuk dapat membebaskan Djoko Tjandra (dari putusan MA 2009),” kata Boyamin kepada Republika, Rabu (12/8).
Boyamin, bahkan mengungkapkan, adanya dugaan imbalan jasa yang dijanjikan Djoko Tjandra sebesar 10 juta dolar Amerika, untuk misi pembebasannya tersebut. Boyamin menjelaskan peran sentral tersangka Jaksa Pinangki dalam skandal tersebut. Dinas ilegal luar negeri Pinangki ke Malaysia sebanyak sembilan kali sepanjang 2019, untuk menemui Djoko Tjandra, membawa misi pengaturan PK Djoko Tjandra, dan keluarnya fatwa bebas dari MA. Boyamin, pun menguatkan adanya dugaan upaya Pinangki mendorong Kejakgung mengeluarkan pendapat hukum untuk dijadikan dasar yuridis bagi MA dalam menerbitkan fatwa bebas untuk Djoko Tjandra.
“Tapi gagal kan? Tapi kegagalan itu, tetap tidak menghapus pemidanaan. Kejaksaan Agung harus menelusuri dugaan itu,“ kata Boyamin, pada Rabu (12/8). Ajuan PK Djoko Tjandra di PN Jakarta Selatan, memang dinyatakan ditolak setelah melewati sidang empat kali, tanpa kehadiran Djoko Tjandra selaku pengaju.
Tetapi pendaftaran upaya hukum luar biasa Djoko Tjandra yang dilakukan pada Juni 2020 itu, merupakan aib bagi otoritas penegakan hukum di Indonesia. Djoko Tjandra, bahkan sempat membuat KTP-Elektronik, pun Paspor Indonesia. Keberadaan Djoko Tjandra di Indonesia waktu itu, tak diketahui oleh Kejakgung, pun interpol.
Padahal statusnya sebagai buronan yang masuk ke wilayah Indonesia, mengharuskan ia ditangkap untuk menjalani penjara atas putusan MA 2009. Namun, pelarian Djoko Tjandra tamat setelah Komjen Listyo terbang ke Kuala Lumpur, pada Kamis (30/7) untuk menangkap dan membawa pulang Djoko Tjandra. Kini Djoko Tjandra, sudah mendekam di Rutan Salemba untuk menjalani pidana atas vonis MA 2009 lalu.