REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah, mengatakan pihaknya tengah menunggu hasil penyelidikan ledakan Beirut. Namun dia menyatakan siap mengambil respons sepadan jika Israel terlibat atau mendalangi peristiwa tersebut.
Nasrallah mengungkapkan saat ini terdapat dua teori yang sedang diselidiki terkait ledakan Beirut. Pertama peristiwa itu terjadi karena kelalaian dan kedua akibat sabotase. Menurut dia, sengaja menembak atau menanam bom kecil menjadi opsi paling mungkin dalam aksi sabotase. "Siapa yang berada di balik tindakan sabotase? Bisa sisi ini atau itu, dan bisa jadi Israel, yang tidak bisa disangkal siapapun," ujarnya dalam sebuah pidato yang disiarkan pada Jumat (14/8).
Dia menegaskan jika ledakan Beirut merupakan operasi sabotase teroris dan Israel terlibat di dalamnya, pembalasan akan dilakukan. "Tidak hanya Hizbullah yang akan merespons, seluruh negara Lebanon harus menanggapi. Israel akan membayar harga sebesar kejahatan jika melakukannya," kata Nasrallah.
Hizbullah, kelompok Syiah yang didukung Iran, menjalankan kekuasaan atas pemerintahan di Lebanon. Mereka telah banyak terlibat konfrontasi dengan Israel. Menurut beberapa sumber pengadilan, Jaksa Agung Lebanon telah mengajukan dakwaan terhadap 25 orang, termasuk pejabat senior pelabuhan dan bea cukai terkait peristiwa ledakan Beirut.
Ledakan Beirut yang terjadi pada 4 Agustus lalu tak hanya menyebabkan kehancuran masif di ibu kota. Peristiwa yang menyebabkan sedikitnya 172 orang tewas dan sekitar 6.000 lainnya luka-luka itu pun telah memicu gerakan demonstrasi. Ribuan warga menganggap pemerintah bertanggung jawab atas bencana tersebut.
Mereka pun menuntut perubahan rezim. Sebelum ledakan Beirut, Lebanon telah dibekap krisis keuangan dan ekonomi yang parah. Masyarakat Lebanon sudah cukup lama menyerukan reformasi agar tak ada lagi praktik korupsi sistemik, pemborosan, dan kelalaian di pemerintahan.
Ledakan Beirut telah memaksa Perdana Menteri Lebanon Hassan Diab mundur pada Senin (10/8). Hal itu telah memperdalam ketidakpastian politik di Lebanon. Pembentukan pemerintahan baru masih cukup riskan mengingat adanya perpecahan faksi. Di sisi lain, kekecewaan dan ketidakpuasan publik atas kelas penguasa masih belum sepenuhnya pudar.