REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kombinasi obat Covid-19 temuan Universitas Airlangga (Unair) telah masuk tahap izin produksi dan izin edar. Kombinasi obat Covid-19 yang ditemukan peneliti Unair lewat kerja samanya dengan Badan Intelijen Negara (BIN), TNI AD, dan BPOM tersebut bahkan disebut-sebuta sebagai obat Covid-19 pertama di dunia. Rektor Unair Prof. Nasih menjelaskan, obat tersebut merupakan kombinasi dari berbagai macam obat, namun oleh BPOM dianggap sebagai sesuatu yang baru.
"Tentu karena ini akan menjadi obat baru dan diharapkan ini akan menjadi obat Covid-19 pertama di dunia," kata Nasih di Surabaya, Ahad (16/8).
Untuk mempercepat proses rilis kombinasi obat tersebut, Nasih meminta TNI, Polri, BIN, IDI, Ikatan Apoteker Indonesia, Kimia Farma, serta Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, bahu membahu dan membuang ego sektoral masing-masing. Sehingga, temuan tersebut bisa dikembangkan dan manfaatnya dapat dirasakan masyarakat.
"Menurut hemat kami, yang selama ini menghambat proses pengadaan obat asli Indonesia itu adalah adanya ego sektoral. Hal itu yang selama ini menyebabkan prosesnya panjang," ujarnya.
Nasih menjelaskan, obat Covid-19 yang ditemukan merupakan campuran dari berbagai macam obat tunggal yang telah diberikan kepada pasien Covid-19 di berbagai belahan dunia. Kesimpulannya, terdapat tiga kombinasi obat yang ditemukan Unair dan telah melaksanakan uji klinis. Pertama yaitu Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
"Awalnya lima kombinasi, kemudian ada saran untuk mengambil tiga kombinasi terbaik saja, yang dampaknya paling besar. Akhirnya kami ambil tiga tersebut karena efektivitasnya mencapai 98 persen, dan kami lakukan uji klinis dengan mengujinya secara acak di lapangan," jelas Nasih.
Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, diakuinya tim Unair tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja. Nasih menegaskan, tim Unair mekakukan uji klinis pada 13 pusat penelitian di Indonesia, dan masing-masing tempat dikoordinasi oleh salah seorang dokter profesional.
"Secara keseluruhan kami hanya ada satu tim, namun di beberapa daerah kami ada beberapa kelompok yang kami sebar menjadi 13 center, karena kami melakukan uji klinis untuk obat itu," katanya.
Nasih berharap kepada pihak BPOM untuk memperlancar izin produksinya. Sehingga obat tersebut dapat diproduksi secara massal untuk kepentingan masyarakat Indonesia. "Kami sudah diminta oleh Kimia Farma dan Lembaga Biologi TNI AD untuk menjelaskan petunjuk teknis dalam memproduksi obat kombinasi tersebut. Sehingga kami berharap kepada BPOM untuk dapat memperlancar izin produksi obat tersebut," ujarnya.