Senin 17 Aug 2020 01:21 WIB

Regulator: China Harus Waspadai Pertumbuhan Shadow Banking

Setelah epidemi, tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas aset akan memburuk.

Rep: Muhyiddin/ Red: Friska Yolandha
Staf taman bermain memegang plakat untuk meningkatkan kesadaran menjaga jarak sosial di taman hiburan Disneyland saat dibuka kembali setelah penutupan imbas virus corona  di Shanghai, China, Senin (11/5). Perekonomian China mengalami rebound atau kembali ke pertumbuhan setelah terdampak pandemi Covid-19.
Foto: AP / Chen Si
Staf taman bermain memegang plakat untuk meningkatkan kesadaran menjaga jarak sosial di taman hiburan Disneyland saat dibuka kembali setelah penutupan imbas virus corona di Shanghai, China, Senin (11/5). Perekonomian China mengalami rebound atau kembali ke pertumbuhan setelah terdampak pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perekonomian China mengalami rebound atau kembali ke pertumbuhan setelah terdampak pandemi Covid-19. Namun, Kepala Regulator Perbankan dan Asuransi China mengatakan pemerintah harus waspada terhadap pertumbuhan shadow banking. Menurut dia, China harus membuang aset bermasalah sesegera mungkin.

Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menekan shadow banking karena khawatir tentang risiko tersembunyi dalam volume tinggi pinjaman kompleks dan berpotensi berisiko di sektor ini. Tetapi karena ekonomi yang melemah memberi tekanan pada bisnis dan individu, pihak berwenang khawatir melonjaknya pinjaman "bayangan" dan pinjaman ilegal.

Ketua Komisi Pengaturan Perbankan dan Asuransi China, Guo Shuqing menulis dalam sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal Partai Komunis Qiushi. Setelah munculnya virus Covid-19, menurut dia, bank berisiko tinggi dengan struktur kompleks dapat bangkit kembali. "Sedikit pelonggaran peraturan dapat menyebabkan kebangkitan kembali, dan semua upaya sebelumnya akan sia-sia," tulis Guo seperti dikutip dari laman Reuters, Ahad (16/8). 

Karena pandemi Covid-19, menurut dia, pinjaman diperkirakan akan pulih secara signifikan dalam ekonomi China tahun ini, dan kredit macet lembaga keuangan dapat meningkat secara substansial. 

Menurut dia, setelah epidemi black swan,  tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas aset akan memburuk, dan karena jeda waktu, klasifikasi aset saat ini belum secara akurat mencerminkan risiko sebenarnya. Peristiwa "angsa hitam" sendiri mengacu pada kejadian tak terduga yang biasanya memiliki konsekuensi ekstrem.

Menurut Guo, Lembaga keuangan harus membuang aset bermasalah sedini mungkin, dan menutupinya hanya akan membawa konsekuensi serius. "China juga harus menerapkan langkah-langkah yang ditargetkan dalam menangani institusi dengan berbagai tingkat risiko," katanya. 

"Di luar China, faktor eksternal juga dapat mengancam keamanan finansial," imbuhnya. 

Dia mengatakan, kerja sama internasional saat ini tidak ideal, dan daftar entitas AS yang diberlakukan pada beberapa perusahaan termasuk perusahaan China telah menambah ketidakpastian pada pemulihan ekonomi global dan mengganggu stabilitas dan keamanan keuangan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement