REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Rencana penjualan sejumlah anak perusahaan (subholding) strategis Pertamina mendapat tanggapan dari sejumlah kalangan. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu menilai rencana tersebut justru dinilai tidak tepat.
Kepala Bidang Media Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan pembentukan enam subholding Pertamina berpotensi menimbulkan persaingan usaha antar anak perusahaan Pertamina.
“Padahal, untuk menjamin pasokan BBM ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar, lini bisnis inti Pertamina harus terintegrasi, ujar dia dalam Seminar Virtual dengan Tema “IPO Subholding Pertamina Dalam Perspektif Kedaulatan Energi” yang diselenggarakan Lembaga Kajian Strategis Nusantara, Sabtu (15/8).
Hakeng juga mengingatkan, penyaluran BBM ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia disubsidi Pertamina hingga mencapai Rp 35 ribu-Rp 50 ribu per liter. Menurutnya investor swasta dan asing pasar bebas yang sejatinya berorientasi pada pencapai laba sebesar-besarnya, tentu tidak mau menanggung beban subsidi tersebut.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mengatakan, selama ini ada dua alasan utama IPO Subholding yang dikemukakan Menteri BUMN dan Direktur Utama Pertamina, yaitu transparansi dan pendanaan. Namun, untuk mencapai kedua hal itu tidak harus melalui penjualan saham anak perusahaan strategis Pertamina yang melanggar UUD 1945 dan UU BUMN.
Menurut Marwan, untuk transparansi dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporat governance) yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki mental pemerintah dan pejabat atau pekerja BUMN.
Jika dipandang masih belum cukup, maka Pertamina dapat menjadi non listed public company atau perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia namun sahamnya tidak diperjualbelikan. Sedangkan untuk pencarian dana, Pertamina memiliki alternatif menerbitkan surat utang dengan biaya modal (cost of capital) yang lebih rendah dibanding biaya modal IPO.
Pengamat ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, mengatakan ada kesalahan konstruksi berpikir dalam rencana penjualan anak perusahaan strategis Pertamina, yaitu menggeser hajat hidup orang banyak (public goods) menjadi barang komersial (comercial goods). Hal itu sama persis terjadi di Perusahaan Listrik Negara.
Menurut Ichsanuddin, beberapa tahun lalu struktur bisnis utama PLN dipecah-pecah (unbundling) dan kemudian dijual ke swasta. Hal itu menimbulkan kerugiaan cukup besar di tubuh PLN, yang salah satunya karena harus membeli listrik dari swasta dengan harga mahal. “Investor hanya mau membeli dan menikmati “daging” PLN. Sedangkan kerugian PLN dibebankan ke masyarakat” kata Ichsanuddin.
Ichsanuddin menambahkan, ia dan para pembicara serta Serikat Pekerja Pertamina siap untuk diskusi terbuka dengan Direksi dan Komisaris Pertamina, termasuk dengan Menteri BUMN Erick Thohir. Diskusi terbuka itu ditujukan untuk mengkaji secara dalam apakah rencana IPO Subholding Pertamina adalah rencana yang tepat atau keliru.
Sementara itu, pakar energi, Kurtubi, menjelaskan makna cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mengusai
hajat hidup orang banyak, bukan hanya dikuasai negara sebatas cara mengatur atau menerbitkan regulasi. Selain regulasi, negara juga harus memilikinya serta mengeksplorasi dan mengeksploitasinya melalui perusahaan negara yang diberi kuasa pertambangan.
Terkait dengan alasan efisiensi jika subholding Pertamina dilepas ke lantai bursa, Kurtubi mengingatkan bahwa monopoli negara jauh lebih efisien dari mekanisme pasar bebas. “Harus diingat pasar besar kalah efisien dari monopoli negara,” kata Kurtubi.