REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christianingsih*)
Nama Kamala Harris ramai diperbincangkan setelah ia dipinang Joe Biden untuk menjadi calon wakil presiden Amerika Serikat (AS) mendampinginya. Harris bukan orang baru di dunia politik dan hukum. Sejak 2016 ia menjadi senator mewakili California.
Politikus berdarah India-Jamaika ini sebelumnya juga sudah dikenal kariernya sebagai sebagai jaksa wilayah San Francisco dan jaksa agung California. Wanita, berasal dari kelompok kulit berwarna, dan punya karier cemerlang merupakan paket komplit yang diharapkan Biden mampu mengerek elektabilitasnya.
Harris digadang-gadang mampu menarik pemilih minoritas di tengah hangatnya gerakan Black Lives Matter dan kesetaraan gender. Namun seberapa kuatkah magnet Kamala Harris menggaet suara rakyat AS?
Dalam sejarahnya, Negeri Paman Sam memang pernah mencatatkan Barack Obama sebagai presiden kulit hitam. Bahkan kepemimpinannya berlangsung hingga dua periode. Berkiblat pada kesuksesan Obama, Biden boleh saja optimistis menggandeng seorang Harris.
Akan tetapi hingga kini belum pernah ada satu pun wanita yang berhasil memenangkan pilpres di AS baik sebagai presiden maupun wakil presiden. Geraldine Ferraro dan Sarah Palin pernah menjadi cawapres namun keduanya gagal.
Teranyar ada Hillary Clinton yang maju sebagai capres AS pada 2008 dan 2016 silam. Walau terlihat menjanjikan, tapi langkahnya dihentikan Obama dan Trump.
Kamala Harris, yang tahun lalu mengundurkan diri sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat, kini mencoba peruntungannya di kursi cawapres. Tak semua kalangan menyambut baik pencalonannya.
Harris menempatkan dirinya sebagai pejuang kesetaraan ras, tetapi mengabaikan penderitaan imigran kulit hitam. Demikian kesaksian Lisa Knox, pengacara pengelola hak imigran untuk Centro Legal de la Raza di Oakland.
Melina Abdullah, salah satu pendiri Black Lives Matter Los Angeles, tadinya berharap Biden akan memilih Karen Bass yang menurutnya pilihan paling progresif. Abdullah juga mengkritisi yang disebutnya penolakan Harris untuk mengizinkan penyelidikan independen penembakan polisi terhadap kulit hitam.
Sosok kelahiran 20 Oktober 1964 itu dinilai tak cukup banyak menyelidiki penembakan polisi dan sering memihak jaksa dalam kasus-kasus hukuman yang salah. Harris membela diri dengan menyatakan sebagai jaksa progresif yang mendukung reformasi penegakan hukum.
Walau Harris tak luput dari kontroversi, keputusan Biden untuk menggandengnya dapat memuluskan peluang untuk menang. Biden menjawab ekspektasi banyak kalangan yang mengharapkannya berpasangan dengan wanita dari kulit berwarna.
Apalagi dalam berbagai survei mantan wakil presiden Barack Obama ini lebih unggul dari Trump, baik sebelum atau sesudah pengumuman Kamala Harris. Namun kontroversi yang lekat dengan sosok Harris juga bisa dimanfaatkan lawan politik untuk menggembosi Biden.
Trump harus berstrategi lebih baik dan pantang salah memilih cawapres. Minimal pasangan Trump harus mampu meyakinkan warga AS bahwa mereka dapat mengatasi krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19. Karena isu inilah salah satu yang menyebabkan elektabilitas konglomerat ini jeblok di mata para pemilih.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id