REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Subroto, Jurnalis Republika
Senin, 28 Maret 2005 sekitar pukul 23.00 WIB, gempa skala 8,7 SR menghantam Pulau Nias, Sumatra Utara. Goncangan bumi yang dahsyat meluluhlantakkan ibu Kota Nias, Gunungsitoli, dan sekitarnya. Namun belum banyak informasi yang didapat dari lokasi karena saluran telepon selular terputus. Listrik juga padam.
Koresponden Republika di Medan, Sumatra Utara, Nian Poloan, melaporkan tak memungkinkan berangkat ke Nias. Penerbangan ke Nias ditutup karena Bandara Binaka di Kota Gunungsitoli rusak. Usaha untuk menggunakan kapal laut pun belum bisa. Jalur darat dari Medan ke Sibolga juga rusak. Kapal yang akan menuju ke Nias dari Sibolga juga belum tentu ada.
Di Jakarta kami khawatir dengan kondisi di Nias. Apakah Nias akan bernasib sama dengan Aceh yang dilanda gempa dan tsunami di akhir tahun 2004? Infomasi dari lokasi benar-benar minim. Dalam rapat finishing redaksi untuk menentukan berita, Selasa 29 Maret 2005 pukul 14.00 WIB, diputuskan harus ada yang berangkat ke Nias secepatnya. Namun bagaimana caranya? Nian Poloan yang lokasinya paling dekat tak mungkin berangkat.
Gempa Bali 5,3 Magnetudo Dampaknya Terasa Hingga Jember
Sepekan Terakhir BMKG Catat Lima Gempa di Wilayah Sumbar
BMKG: Gempa Tektonik di Sumba Akibat Deformasi Kerak Benua
Gempa Guncang Indramayu, Warga Berhamburan Keluar Rumah
Dalam rapat aku nekad saja mengajukan diri untuk berangkat sore atau malam itu. Caranya? Aku sendiri belum tahu. Dalam kondisi bencana, yang paling mungkin berangkat ke lokasi duluan biasanya adalah tentara, tim SAR, atau ormas yang biasanya menangani bencana.
Dalam rapat aku nekad saja mengajukan diri untuk berangkat sore atau malam itu. Caranya? Aku sendiri belum tahu.
Beberapa sumber dikontak, tapi belum ada yang bisa berangkat hari itu. Kebetulan Wakil Dirut Utama Republika, Doedi Gambiro, kenal dekat dengan Pangdam Bukit Barisan Mayjen Tritamtomo. Akupun sudah mengenal Tritamtomo waktu liputan ke Natuna beberapa bulan sebelumnya. Sebagai penguasa wilayah teritorial di Sumatra Utara tentu dia akan berangkat ke Nias.
Dari kontakan Doedi dengan Pangdam, aku dipastikan bisa berangkat dengan rombongan Pangdam Rabu, pukul 06.00 WIB dengan helikopter dari Medan. Jadi malam itu harus berangkat ke Medan. Jika menunggu pagi dengan pesawat paling pagi ke Medan, baru ada pukul 06.00 WIB. Jelas akan ditinggal rombongan.
Sekretariat redaksi mencarikan tiket pesawat ke Medan. Dapat. Tapi aku tak punya persiapan apapun. Padahal di Nias nanti tak tahu sampai berapa lama. Mungkin seminggu, bisa juga lebih.
Untuk pulang ke rumah di Depok mengambil barang-barang, sudah tak mungkin. Sudah pukul 16.00 WIB. Pesawat ke Medan berangkat pukul 19.00 WIB.
Jarak kantor di Pasar Minggu ke rumah sekitar 19 km. Paling tidak butuh waktu tiga jam pulang pergi. Apalagi sore hari biasanya macet berat.
Akhirnya aku berangkat dengan bekal seadanya. Pinjam jaket teman dan dua t-shirt dari toko koperasi karyawan Repubika. Selebihnya adalah kemeja dan celana jeans yang kupakai. Kepada istri aku hanya pamit akan liputan gempa di Nias. “Nggak ada reporter yang bisa berangkat?” tanyanya. “Nggak ada,” jawabku.