Rabu 19 Aug 2020 06:08 WIB
Cerita di Balik Berita

Liputan Haji: Dilarang Sombong

Pengalaman jurnalis Republika meliput haji.

M Subroto, Jurnalist Republika
Foto: Daan Yahya/Republika
M Subroto, Jurnalist Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Subroto, Jurnalis Republika

“Jangan kaget ya. Ada kabar tidak mengenakkan,” suara Pemred Republika Asro Kamal Rokan, di ujung handphone terdengar serius.

“Ada apa Bang ? ,” tanyaku berusaha tenang.

Tak ada jawaban.  Terdengar Asro menarik napas panjang. Seperti berat mengatakan sesuatu.

Hening sejenak. Aku masih berpikir kabar buruk apa? Aku tak merasa berbuat salah.

“Subroto terpilih berangkat haji tahun ini. Hahaha…,” jawab  Asro terkekeh. Ternyata dia memberi kejutan.

Tentu saja aku kaget. “Alhamdulillah…Serius ini Bang?”

“Ya, tadi baru pemilihan. Siapkan diri ya.”

Berulang-ulang aku berucap syukur. Senangnya bakal berangkat haji gratis dari kantor. Fasilitas ONH Plus. Dapat uang saku pula.

Tiap tahun Republika memberangkatkan haji karyawannnya. Jumlahnya bisa 3 hingga 5 orang. Itu masih ditambah lagi dengan dua petugas haji yang bergabung dengan Kementrian Agama. Kadang juga ada undangan dari Pemerintah Arab Saudi. Total yang yang berangkat bisa 5 sampai 10 orang tiap musim haji.

Musim haji tahun 2004 karyawan Republika yang berangkat haji 16 orang. Jumlah itu paling banyak karena tahun sebelumnya pemberangkatan tertunda. Pelepasan jamaah haji dari redaksi dilakukan oleh Ketua MPR Hidayat Nur Wahid di lantai 4 Republika.

Kendati bukan petugas haji, tetapi aku tetap melakukan liputan selama di Tanah Suci. Pengalaman meliput ke berbagai daerah dan luar negeri membuat mudah beradaptasi dengan suasana baru di Tanah Suci.

Selama di Madinah, aku sering bepergian sendiri. Ke pasar, ke masjid, atau menyusuri sudut-sudut Kota Nabi.

Di hotel kami sekamar berempat. Satu orang sudah tua. Namanya Pak Trisno. Karena lanjut usia, Pak Trisno sering membuat lambat jika kami bepergian bersama. Itu juga yang membuat aku lebih suka pergi sendiri. Toh aku wartawan. Tak mungkinlah nyasar.

Selesai ibadah di Madinah, kami berangkat ke Makkah. Tiba di Makkah malam hari. Umrah dilakukan malam itu juga. Rombongan menginap di Hotel Hilton yang langsung berhadapan dengan pelataran Masjidil Haram.

Kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil. Jumlahnya 10 orang, dipimpin seorang mutawif, pelajar Indonesia yang sedang belajar di Arab Saudi. Aku merasa beruntung berada di kelompok yang  hampir semua anggotanya berusia muda. Dan yang paling penting, tak ada Pak Trisno. Dia pasti menyusahkan nanti.

Saat memulai umrah, aku sudah merasa tak nyaman dengan mutawif. Dan lagi umrah berombongan itu rasanya kurang menyentuh. Diam-diam aku melepaskan diri dari rombongan. Semua ritual umrah kujalani sendiri, tak tergantung orang lain, tak tergantung rombongan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement