REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengemban amanah sebagai seorang kepala keluarga, berarti bersedia memperjuangkan kesejahteraan keluarga dengan mencukupi segala kebutuhannya. Hal inilah yang dirasakan Sugiyanto, seorang kepala keluarga dengan enam orang anak.
Sugiyanto merupakan pengusaha keripik tempe sagu yang sekaligus menjadi mustahik binaan Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Mustahik Baznas. Ditemui di kawasan Klender Jakarta Timur, beberapa waktu lalu, Sugiyanto cukup antusias menceritakan kisah perjalanan hidupnya. Ia menuturkan tak pernah terbersit di benaknya, perjalananannya menjadi seorang kepala keluarga harus dilalui dengan berbagai macam cobaan kehidupan khususnya dalam hal ekonomi.
Besar di lingkungan keluarga pedagang, Sugiyanto telah memutuskan ikut merantau orang tuanya dari Pekalongan ke Jakarta dengan berdagang tempe di Pasar Klender sejak umur 15 tahun. Kehidupan ini ia jalani selama tiga tahun sebelum akhirnya memilih menjadi karyawan di sebuah mall di Bekasi.
“Memang dari kecil saya sudah punya keinginan sesuatu yang berbeda, pengen usaha sendiri meski waktu itu saya masih terbilang sangat muda.Makanya saya kabura-kaburan ikut orang tua, terus keluar, kemudian ikut lagi,” ujarnya.
Di umur 22 tahun, Sugiyanto memutuskan menikah dan merintis usaha cabe dan bawang di Pasar Klender Jakarta Timur. Delapan tahun berjalan, usaha Sugiyanto mengalami perkembangan yang pesat hingga hidupnya berkecukupan bahkan mampu membeli mobil operasional.
Namun usaha yang sudah berjalan dengan baik ini perlahan mengalami penurunan setelah adanya renovasi pasar yang membuat dirinya harus berpindah tempat usaha. Setelah berpindah tempat, usahanya drastis tak berkembang dan hampir bangkrut.
Modal yang ia miliki terkuras habis, dan meninggalkan hutang piutang di berbagai rekanan usahanya. Dikejar-kejar hutang, Sugiyanto memutuskan untuk membawa anak istrinya pulang ke kampung halamannya di Pekalongan.
“Mental saya kurang kalau di daerah sendiri, entah gengsi atau malu, dalam waktu satu tahun saya mengganggur. Kebutuhan sehari-hari keluarga saya ditopang oleh orang tua saya,” ujarnya lirih.
Didesak kebutuhan dan kewajiban membayar hutang, Sugiyanto kembali mengajak keluarganya pindah ke kampung halaman istrinya di Solo. Bermodal hasil penjualan TV LED, Sugiyanto dan keluarga mengontrak salah satu rumah dan sisanya digunakan untuk modal berjualan bakso dan es campur.
Tak butuh waktu lama, usahanya kembali mengalami perkembangan cukup signifikan. Belum sampai satu bulan berdagang, usahanya mampu meraup omzet Rp 400 ribu setiap harinya. Namun sayang, belum genap satu tahun berjalan, usahanya harus kembali bermasalah karena persaingan usaha kurang sehat dari masyarakat sekitar.
“Dalam keadaan itu, saya sempat hampir putus asa, Ya Allah, usaha kok gini amat ya,” ucapnya.
Tak ingin menyerah, Sugiyanto menjual usaha baksonya di Solo, kemudian memboyong anak istrinya kembali merantau ke Jakarta untuk mencari usaha baru. Sekitar 2014, Sugiyanto kembali merintis usaha dengan nama “Sate Goreng Aska” dimana ia menggelar usaha dagangya di sekitar stasiun Cakung. Usaha sate goreng ini terinspirasi dari saudaranya yang menawarkan ide untuk berdagang makanan frozen food.
Sama seperti usaha sebelumnya, usaha sate goreng Sugiyanto cepat mengalami kenaikan omzet. Dalam kurun waktu tiga bulan, ia bisa membuka satu cabang lagi di daerah Jakarta Utara. Tak berhenti sampai disitu, Sugiyanto mampu menjual usahanya secara franchise hingga 17 outlet bahkan hingga luar Jawa.
Tiga tahun berjalan, Sugiyanto mampu memiliki 8 outlet dengan 8 orang karyawan. Namun lagi-lagi Sugiyanto harus mengalami kekecewaan karena usaha yang ia rintis lambat laun mengalami penurunan akibat ulah oknum karyawannya yang membuat usahanya gulung tikar. Bahkan ia harus kembali meninggalkan utang di salah satu bank.
“Saya mengirim sendiri ke berbagai cabang yang di Jakarta setiap hari kok produk saya habis, uang habis. Sementara pemasukan menurun setiap hari. Salah saya percaya ke orang 100 persen,” tuturnya.
Sugiyanto pun memutuskan kembali menutup usahanya, dan beralih ke usaha barunya, dengan memilih berjualan tempe dan toge. Kebutuhan keluarga yang terus meningkat dengan enam orang anak, serta tanggungan hutang, membuat Sugiyanto harus extra kerja keras memutar otak untuk menghidupi keluarganya.
“Kalau untuk sehari-hari dari dagang toge dan tempe cukup, tapi untuk yang lain harus menutup utang saya kesulitan. Pikiran harus jalan, yasudah saya jadi kuli dengan bayaran Rp 50 ribu per hari saya jalani dengan keterbatasan apapun itu,” ucapnya.
Ternyata dengan menjadi kuli, menjadi jalan pembuka rejeki Sugiyanto dan keluarganya. Di dekat tempatnya bekerja sebagai kuli, ada sebuah usaha produksi rumahan tempe sagu yang membuatnya tertarik untuk menekuninya. Sugiyanto memberanikan diri untuk bertanya proses pembuatan untuk kemudian ia praktekkan di rumah.
Namun praktek membuat tempe sagu yang dijalankan Sugiyanto tak semudah yang dibayangkan. Dengan berbagai uji coba resep selama satu bulan, Sugiyanto baru menemukan resep yang pas untuk hasil produknya.
Ia pun memberanikan diri menawarkan ke warung kecil dengan produksi yang masih terbatas. Untuk menambah produksinya, Sugiyanto berinisiaitif mengajukan diri ke Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) setelah mendapatkan informasi dari salah seorang rekannya.
“Sebelum mendapat bantuan Baznas, saya menumpang mertua, tidur di ruangan 2x1,5 meter dengan istri dan enam orang anak di sebuah tempat tinggal bedeng semi permanen di daerah Pulogadung,” katanya.
Setelah mendapatkan bantuan modal dari Baznas, Sugiyanto memutuskan mengontrak tempat baru untuk mengembangkan usahanya. Dari sebelumnya belum memiliki kendaraan operasional, perlahan Sugiyanto mampu memiliki untuk memasarkan produknya.
Selain bantuan modal, Sugiyanto juga mendapat pendampingan dari Baznas mulai dari kemasan, hingga cara pemasaran secara online. “Pokoknya saya dituntun oleh Baznas, bagaimana cara agar produk unggulan saya terlihat menonjol, unggul, dan laku di pasaran. Makanya saya manfaatin banget pendampingan ini untuk kemajuan usaha saya,” katanya.
Secara perlahan, ekonomi keluarga Sugiyanto pun mengalami peningkatan. Pelan-pelan ia mampu memenuhi kebutuhan pendidikan empat orang anaknya. Dengan memaksimalkan media online yang ada, Sugiyanto kini justru kewalahan memenuhi pesanan yang ada.
“Alhamdulillah sekarang omzet bisa Rp 600 ribu per hari, dan Insya Allah terus bertambah. Karena saya belum berani punya karyawan karena masih trauma, jadi pesanan saya masih terbatas,” ujarnya.
Kini perjalanan hidup Sugiyanto telah memasuki babak baru, dengan kondisi ekonomi yang cukup untuk keluarganya. Perjuangannya sebagai kepala keluarga yang bekerja keras tak kenal membuahkan hasil untuk memerdekakan kehidupan ekonomi keluarganya.
“Saya tidak muluk-muluk, kalau bisa meminta kepada Allah, jangan saya itu dikasih, tapi saya bisa ngasih, dan bisa menghasilkan sesuatu yang berharga buat orang lain,” tutupnya.
Baznas berkomitmen untuk mendampingi ikhtiar para pejuang ekonomi keluarga, melalui pemberdayaan, pendampingan, serta pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi kerasnya dunia usaha.
Dana zakat yang masyarakat salurkan akan terus menjadi penguat para pelaku usaha kecil berjuang memerdekakan ekonomi keluarga untuk terus berdaya di tengah hantaman krisis pandemi.