REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dessy Suciati Saputri
Pemangkasan anggaran bagi Kementerian Sosial membuat alokasi Bantuan Sosial Tunai (BST) jumlahnya menurun. Jika saat ini BST berjumlah Rp 300 ribu per bulan, tahun depan jumlahnya diturunkan menjadi Rp 200 ribu per bulan.
Penurunan jumlah BST disampaikan Menteri Sosial, Juliari Batubara, saat menjelaskan nota keuangan Kementerian Sosial dalam RAPBN 2021 pada Jumat (14/8). Tahun depan anggaran untuk Kementerian Sosial turun cukup banyak dari Rp 134,01 triliun di 2020 menjadi Rp 92,8 triliun. Akibatnya nominal BST ikut terdampak.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, mengatakan pengurangan nominal atau jumlah BST dari pemerintah kepada warga sebagai jaring pengaman sosial bisa memicu kemiskinan ekstrem. "Kalau ini dikurangi kemungkinan kemiskinan ekstrem mulai atau akan terjadi," katanya saat dihubungi di Jakarta, Selasa (18/8).
Ia mengatakan BST yang saat ini diterima oleh masyarakat terdampak Covid-19 sebesar Rp 300 ribu per bulan saja masih belum mampu meningkatkan perekonomian. "Harusnya ditambah pemerintah, bukan dipotong lagi," katanya.
Apabila pemerintah belum sanggup menaikkan jumlah besaran bantuan yang diberikan, setidaknya harus stabil atau tidak dikurangi dari jumlah saat ini.
Ia menyampaikan salah satu fungsi pemerintah adalah menjamin supaya masyarakat sejahtera. Terkait hal itu, pengurangan nominal BST pada 2021 juga bisa berimbas menurunnya kepercayaan publik kepada pemerintah. "Otomatis kepercayaan publik bisa turun," ujarnya.
Menurut dia, tidak ada alasan untuk mengurangi bantuan kepada masyarakat terutama pada saat kondisi pandemi Covid-19. Bagaimana pun, ujar dia, pemerintah lah yang harus memikirkan solusi tersebut agar masyarakat ekonomi lemah bisa bertahan di tengah pandemi.
"Jadi bagaimana pemerintah itu mencari sumber-sumber lain jangan hanya menaikkan pajak dan utang," tuturnya.
Selain itu Trubus menyarankan pemerintah agar penyaluran BST bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dilakukan secara sekaligus. "Kalau menurut saya daerah terpencil disalurkan sekaligus saja," katanya.
Sebab, kata dia, selama ini proses penyaluran bantuan sosial kepada warga yang bermukim di daerah terpencil membutuhkan waktu lebih. Sehingga akan lebih efisien dan efektif apabila disalurkan sekaligus.
Meskipun demikian, Trubus mengingatkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Sosial agar mengawasi secara ketat penyaluran tersebut. "Jangan sampai bantuan bagi warga tersebut diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu di tengah kemerosotan ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19," katanya.
Ia menegaskan penyaluran BST dan bantuan sosial lainnya di 2021 harus betul-betul diawasi pemerintah karena berkaca dari sebelumnya rawan terjadi penyelewengan. "Menurut saya di sinilah negara hadir. Jadi artinya negara memberikan perlindungan sosial kepada warga," kata Trubus.
Selain itu, sisi positif yang bisa muncul dari masyarakat adalah kepercayaan kepada negara bahwa mereka yang tinggal di daerah terpencil diperhatikan terutama saat pandemi. Akselerasi penyaluran bantuan sosial, salah satunya dilakukan dengan cara menyalurkan BST sekaligus tiga bulan di wilayah Tertinggal, Terdepan, Terluar (3T).
Kemudian menambah durasi layanan pembayaran pembayaran BST di PT Pos Indonesia serta menambah loket dan titik lokasi layanan penyaluran di komunitas seperti kantor desa, sekolahan, pos RW dan sebagainya.
Penyaluran BST tahap pertama tahun ini tidak memenuhi target penerima bansos yakni 9 juta. Hal itu disebabkan karena banyak daerah yang belum bisa memenuhi alokasi kuota yang diberikan Kemensos.
Menteri Juliari pada pertengahan bulan lalu mengatakan, belum sampai 6 juta keluarga yang menerima BST. "Ini dikarenakan di tahap-tahap awal masih banyak daerah yang belum bisa memenuhi alokasi atau kuota yang kami berikan,” ujar Juliari saat konferensi pers, Rabu (17/6).
Pada tengah bulan lalu, penyaluran BST sudah masuk tahap kedua. Juliari menyebut, realisasi penyaluran pun telah mencapai 73,3 persen dari target 9 juta keluarga penerima manfaat. Artinya sudah sekitar Rp 3,96 triliun diserahkan kepada keluarga yang masuk dalam data BST pemerintah.
Juliari mengatakan, data keluarga penerima manfaat yang masuk ke Kemensos berjumlah 8,366 juta keluarga. Ia pun meminta daerah agar segera memenuhi alokasi yang diberikan sehingga data keluarga penerima manfaat mencapai target.
“Masih kurang 640 ribu keluarga yang kami mintakan dari daerah,” ucapnya.
Jumlah kuota yang belum dipenuhi oleh daerah ini menjadi kendala dalam penyaluran BST. Karena itu, pemerintah akan mengalihkan sisa kuota daerah yang belum siap ke daerah lainnya sehingga penyaluran BST dapat mencapai target.
“Beberapa upaya yang kami lakukan bagi daerah yang belum siap memenuhi alokasi atau kuotanya antara lain kita mengalihkan sisa kuota daerah tersebut kepada daerah yang lebih siap menyalurkan,” kata dia.
Selama pandemi Covid-19 Kementerian Sosial mengelola pelaksanaan jaring pengaman sosial program-program bantuan sosial (bansos) secara reguler dan khusus. Bantuan sosial reguler dua, yakni program PKH (Program Keluarga Harapan) dan program Kartu Sembako atau Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Lalu ada bansos khusus selama masa pandemi Covid-19. Bantuan tersebut berupa bantuan sosial paket sembako untuk wilayah Jakarta, sebagian Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Program Bansos Sembako Jabodetabek akan diteruskan sampai bulan Desember dengan besaran atau nilai indeksnya dari Rp 600 ribu dikurangi menjadi Rp 300 ribu untuk per bulan per Keluarga Penerima Manfaat. Bansos sembako jumlah Rp 300 ribu diterima mulai Juli sampai Desember 2020.
Lalu terakhir ada bansos khusus lainnya yaitu BST. Rencananya BST terdiri dari tiga tahapan dan saat ini sudah memasuki tahapan kedua.