REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, meminta pemerintah untuk membuat klasterisasi komoditas yang dibudidayakn oleh petani kecil. Ia menilai, banyak komoditas pertanian yang sudah punya pangsa pasar namun belum dimanfaatkan.
Rusli mengatakan, sektor pertanian di Indonesia kebanyakan masih terpencar antar komoditas. Hal itu membuat industrialisasi komoditas pertanian untuk menghasilkan produk turunan atau produk jadi siap pakai menjadi terhambat.
"Klasterisasi komoditas ini harus berkelanjutan, tidak bisa hanya 1-2 tahun. Ini harus ada peran pemerintah daerah dan pendampingan langsung dari Kementerian pertanian," kata Rusli kepada Republika.co.id, Selasa (18/8).
Rusli mencontohkan, seperti komoditas gula aren yang memiliki permintaan pasar global cukup tinggi. Namun, petani di Indonesia masih terpencar dan dalam skala ekonomi yang kecil.
Menurutnya, lewat klasterisasi, maka akan terdapat jaringan kawasan yang khusus dan konsentrasi pada komoditas tertentu sehingga skala ekonomi menjadi besar.
Berkumpulnya petani dalam satu klaster kawasan pun mempermudah dalam proses penyiapan produksi yang berkelanjutan. Sebab, importir dari berbagai negara tak hanya butuh kualitas, namun juga kestabilan pasokan.
"Pemerintah sudah harus mulai ke arah sana dan ini harus dikawal dengan kencang. Setelah terbentuk, harus didorong produk turunannya untuk menciptakan nilai tambah," kata Rusli.
Selain itu, ia mengatakan, petani-petani yang punya potensi mengekspor hasil panennya maupun yang telah menjadi eksportir namun sulit meningkatkan skala usaha perlu dibantu oleh pemerintah. Salah satunya lewat kemudahan dalam proses pengurusan birokrasi administrasi untuk kegiatan ekspor.
"Banyak sekali komoditas kita di luar sawit yang saat ini mendominasi ekspor pertanian," kata dia.
Seperti diketahui, peningkatan ekspor pertanian menempati posisi tertinggi dalam neraca perdagangan sepanjang bulan Juli 2020. Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan, nilai ekspor pertanian mencapai 350 juta dolar AS.
Angka tersebut meningkat 24,10 persen dari capaian ekspor pertanian bulan Juni 2020 yang sebesar 280 juta dolar AS.
"Ekspor pertanian dan hasil pertanian tumbuh cukup besar dari Juni ke Juli, di antaranya untuk tanaman obat dan rempah-rempah, lalu sarang burung walet, kopi, sayuran, dan biji kakao," kata Kepala BPS, Suhariyanto.
Suhariyanto, mengatakan, ekspor pertanian Juli 2020 dibanding Juli 2019 juga tetap tumbuh positif yakni 11,17 persen. Sementara, sektor lainnya seperti migas, industri pengolahan, serta pertambangan dan lainnya mengalami pertumbuhan negatif dari tahun lalu.
"Produk-produk hortikultura dan komoditas perkebunan juga tumbuh bagus," kata Suhariyanto.
Lebih lanjut, ia mengatakan, secara nilai ekspor pertanian memang bukan yang tertinggi. Ekspor dari Indonesia sejauh ini masih didominasi oleh produk industri pengolahan yakni nilainya 11,28 miliar dolar AS, namun hanya naik 16,95 persen dari bulan sebelumnya.
Selanjutnya diikuti oleh ekspor pertambangan dan lainnya yang mencapai 1,39 miliar dolar AS. Namun, untuk ekspor tambang, mengalami pertumbuhan negatif 7,83 persen dari posisi Juni 2020.
Adapun ekspor terbesar ketiga diduduki oleh ekspor migas yang mencapai 700 juta dolar AS pada Juli 2020. Ekspor migas tercatat naik 23,77 persen dari capaian bulan sebelumnya.