Rabu 19 Aug 2020 03:45 WIB

Sebulan, Omzet Klinik Aborsi di Jakpus Capai Rp 70 Juta

Sebanyak 40 persen keuntungan diberikan untuk tenaga medis.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Teguh Firmansyah
Sebuah klinik aborsi disegel polisi (ilustrasi)
Foto: Republika/Edwin
Sebuah klinik aborsi disegel polisi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polda Metro Jaya mengungkap klinik aborsi di Jalan Raden Saleh I, Senen, Jakarta Pusat, Senin (3/8) lalu. Polisi menyebut, klinik itu mendapatkan omzet mencapai Rp 70 juta per bulan.

"Setidaknya dalam sebulan itu Rp70 juta bersih. Itu asumsi dari beberapa penerimaan satu tahun berjalan," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Tubagus Ade Hidayat dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (18/8).

Baca Juga

Tubagus menjelaskan, keuntungan itu kemudian dibagikan kepada setiap tersangka sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Sebanyak 40 persen dari keuntungan itu diberikan kepada tenaga kesehatan atau jasa medis. Kemudian 40 persen lainnya diberikan kepada para calo. Sedangkan 20 persen sisanya untuk pihak pengelola klinik tersebut.

Sementara itu, sambung Tubagus, untuk tarif pelayanan aborsi dipatok berbeda-beda tergantung dari usia kandungan. Semakin tua usia kandungan, maka biaya aborsinya pun semakin mahal. "Usia kandungan enam sampai tujuh minggu dengan biaya Rp 1,5-Rp 2 juta, sedangkan usia 15-20 minggu dengan biaya Rp 7 juta-Rp 9 juta," papar dia.

Lebih lanjut Tubagus menuturkan, klinik tersebut mencari pelanggan dengan menggunakan jasa calo dan dari mulut ke mulut oleh pasien yang pernah melakukan aborsi di sana. Dia menyebut, klinik itu tidak mempromosikan jasanya melalui media sosial.

"Cara mencari pelanggan pertama, menggunakan calo yang kedua adalah dari pengalaman masing-masing dan berlanjut, yang ketiga adalah hasil konsultasi dan meminta dilakukan itu (aborsi)," ungkap dia.

Tubagus mengungkapkan, tempat tersebut merupakan klinik legal. Sebab, klinik itu memiliki izin untuk melayani berbagai jasa konsultasi dan penanganan kandungan. Namun, klinik itu diketahui membuka jasa aborsi yang tidak sesuai aturan.

"Dokter-dokter tersebut adalah dokter spesialis kandungan sehingga klinik ini bukan hanya klinik aborsi, tapi klinik dalam rangka penanganan kandungan, seperti pemasangan KB, pengecekan kandungan dan lain-lain, tetapi di samping melakukan pengobatan juga melakukan praktik aborsi," jelas Tubagus.

"Pada saat kita melakukan penangkapan ada tiga orang (ibu dan ayah janin, serta calo) di sana yang hendak melakukan aborsi, dan itu (mereka) tidak memenuhi kriteria Pasal 75 Undang-Undang Kesehatan. Sehingga memenuhi unsur tindak pidana," sambungnya.

Polisi menangkap 17 orang dan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Mereka terdiri dari tiga orang dokter, satu bidan, dua perawat, dan empat orang sebagai pengelola klinik yang memiliki tugas untuk negosiasi, menerima pasien dan membagi uang.

Kemudian, lanjut Tubagus, adapula empat orang yang memiliki tugas untuk antar-jemput pasien, membersihkan janin yang telah digugurkan, menjadi calo, dan membelikan obat. Para tersangka masing-masing berinisial dr SS, dr SWS, dr TWP, EM, AK, SMK, W, J, M, S, WL, AR, MK, WS, CCS, HR, dan LH.

Klinik tersebut diketahui telah beroperasi selama lima tahun. Namun, berdasarkan data-data yang disita polisi saat menggeledah tempat itu, dalam kurun waktu satu tahun terakhir tercatat ada 2.638 pasien yang mendatangi klinik tersebut.

"Terhitung mulai Januari 2019 hingga 10 April 2020, klinik ini tercatat memiliki 2.638 pasien. Data sebelumnya masih penyidikan lebih lanjut," ujar Tubagus.

Dalam sehari, klinik tersebut mampu menangani lima hingga tujuh pasien untuk melakukan aborsi. Selain itu, polisi juga turut menyita sejumlah barang bukti dari klinik tersebut. Di antaranya, berbagai macam alat praktik jedokteran, obat-obatan hingga uang tunai senilai Rp 51 juta.

Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 299 KUHP dan atau Pasal 346 KUHP dan atau Pasal 348 ayat (1) KUHP dan atau Pasal 349 KUHP dan atau Pasal 194 Jo Pasal 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan atau Pasal 77A jo Pasal 45A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dengan ancaman hukuman 10 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement