REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Profesor Universitas Waikato Selandia Baru, Alexander Gillespie menyoroti vonis yang akan jatuh pekan depan pada pelaku insiden penembakan Masjid di Christchurch. Jika nantinya divonis penjara, si pelaku akan menghabiskan banyak biaya negara.
Gillespie mengungkapkan tak ada hukuman mati di Selandia Baru sehingga pelaku penembakan hanya akan dipenjara dalam waktu lama. Diperkirakan hukuman minimal pelaku ialah penjara 17 tahun atas tindakan pembunuhan sebagai bagian aksi terorisme.
Selandia Baru juga tak menganut hukuman kumulatif walaupun 51 nyawa melayang. Sistem hukuman kumulatif berlaku di Amerika.
"Tapi Selandia Baru mengizinkan pemberataan. Misalnya tidak ada bebas bersyarat bagi pelaku," kata Gillespie, dilansir di Stuff.co.nz, Rabu (19/8).
Sayangnya, masalah tak akan selesai dengan pemenjaraan pelaku. Pemerintah Selandia Baru harus menggelontorkan dana bagi siapa pun yang dipenjara, termasuk si pelaku penembakan Christchurch.
"Memenjarakan dia sangat mahal. Biaya terkininya per harinya Rp 48 juta karena pengamanan ekstra, padahal napi lain biasanya hanya menghabiskan Rp 3,2 juta per hari," ujar Gillespie.
Dalam setahun ke depan, Selandia Baru menghabiskan Rp 17 miliar untuk memenjarakannya. Angka pasti berapa banyak dana yang dihabiskan Selandia Baru guna memenjarakannya tergantung berapa lama pelaku dipenajara dan tingkat keamanannya.
"Jika masa usianya seperti orang normal, maka total biayanya bisa mencapai puluhan juta dolar per dekade," ujar Gillespie.