REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Ya’qub adalah putra dari Nabi Ishaq bin Ibrahim, sedang ibunya adalah anak saudara dari Nabi Ibrahim, bernama Rifqah binti A’zar. Ia adalah saudara kembar dari putra Ishaq yang kedua bernama Ishu.
Antara kedua saudara kembar ini tidak terdapat suasana rukun dan damai serta tidak ada menaruh kasih-sayang satu terhadap yang lain. Ishu mendendam dengki dan iri hati terhadap Ya’qub saudara kembarnya yang memang dimanjakan dan lebih disayangi serta dicintai oleh ibunya.
Hubungan mereka yang renggang dan tidak akrab itu makin buruk dan tegang setelah diketahui oleh Ishu bahwa Ya’qublah yang diajukan oleh ibunya ketika ayahnya minta kedatangan anak-anaknya untuk diberkahi dan didoakan. Dia tidak diberitahu dan karenanya tidak mendapat kesempatan seperti Ya’qub memperoleh berkah dan doa ayahnya, Nabi Ishaq.
Melihat sikap saudaranya yang bersikap kaku dan dingin dan mendengar kata-kata sindirannya yang timbul dari rasa dengki dan iri hati, bahkan ia selalu diancam, maka datanglah Ya’qub kepada ayahnya mengadukan sikap permusuhan itu.
Ia mengeluh: ”Wahai ayahku! Tolonglah berikan fikiran kepadaku, bagaimana harus aku menghadapi saudaraku Ishu yang membenciku mendendam dengki kepadaku dan selalu menyindirku dengan kata-kata yang menyakitkan hatiku, sehinggakan menjadi hubungan persaudaraan kami berdua renggang dan tegang, tidak ada saling cinta-mencintai, saling sayang-menyayangi. Dia marah karena ayah memberkahi dan mendoakan aku agar aku memperolehi keturunan soleh, rezeki yang mudah dan kehidupan yang makmur serta kemewahan. Dia menyombongkan diri dengan kedua orang istrinya dari suku Kan’aan dan mengancam anak-anaknya dari kedua istri itu akan menjadi saingan berat bagi anak-anakku kelak didalam pencarian dan penghidupan dan macam-macam ancaman lain yang mencemaskan dan menyesakkan hatiku. Tolonglah ayah berikan aku fikiran bagaimana aku dapat mengatasi masalah ini serta mengatasinya dengan cara kekeluargaan.”
Berkata si ayah, Nabi Ishaq yang memang sudah merasa kesal hati melihat hubungan kedua putranya yang makin hari makin meruncing: ”Wahai anakku, karena usiaku yang sudah lanjut aku tidak dapat menengahi kamu berdua. Ubanku sudah menutupi seluruh kepalaku, badanku sudah membungkuk. raut mukaku sudah kisut berkerut, dan aku sudak berada di ambang pintu perpisahan dari kamu dan meninggalkan dunia fana ini.
Aku khawatir bila aku sudah menutup usia, gangguan saudaramu Ishu kepadamu akan makin meningkat dan Ia secara terbuka akan memusuhimu, berusaha mencari kecelakaanmu dan kebinasaanmu. Ia dalam usahanya memusuhimu akan mendapat sokongan dan pertolongan dan saudara-saudara iparnya yang berpengaruh dan berwibawa di negeri ini. Maka jalan yang terbaik bagimu, menurut fikiranku, engkau harus pergi meninggalkan negeri ini dan berhijrah engkau ke Fadan A’raam di daerah Irak, di mana bermukin bapak saudaramu saudara ibumu Laban bin Batu'il. Engkau dapat mengharap dikawinkan kepada salah seorang putrinya dan dengan demikian menjadi kuatlah kedudukan sosialmu disegani dan dihormati orang karena karena kedudukan mertuamu yang menonjol di mata masyarkat. Pergilah engkau ke sana dengan iringan doaku. Semoga Allah memberkahi perjalananmu, memberi rezeki murah dan mudah serta kehidupan yang tenang dan tenteram.
Nasihat dan anjuran si ayah mendapat tempat dalam hati si anak. Ya’qub melihat dalam anjuran ayahnya jalan keluar yang dikehendaki dari krisis hubungan persaudaraan antaranya dan Ishu. Apalagi dengan mengikuti saranan itu Ia akan dapat bertemu dengan bapak saudaranya dan anggota-anggota keluarganya dari pihak ibunya. Ia segera berkemas-kemas membungkus barang-barang yang diperlukan dalam perjalanan. Dengan hati yang terharu serta air mata yang tergenang di matanya, ia pamit kepada ayahnya dan ibunya ketika akan meninggalkan rumah.
Nabi Ya’qub Tiba di Irak
Dengan melalui jalan pasir dan Sahara yang luas dengan panas mataharinya yang terik dan angin samumnya (panas) yang membakar kulit, Ya’qub meneruskan perjalanan seorang diri, menuju ke Fadan A’ram dimana bapak saudaranya Laban tinggal. Dalam perjalanan yang jauh itu, Ia sesekali berhenti beristirahat bila merasa letih dan lesu. Dan di salah satu tempat perhentiannya ia berhenti karena sudah sangat letihnya tertidur dibawah teduhan sebuah batu karang yang besar.
Dalam tidurnya yang nyenyak, Ia mendapat mimpi ia dikaruniakan rezeki luas, penghidupan yang aman damai, keluarga dan anak cucu yang soleh dan bakti serta kerajaan yang besar dan makmur. Terbangunlah Ya’qub dari tidurnya, mengusapkan matanya menoleh ke kanan dan ke kiri dan sedarlah ia apa yang dilihatnya hanyalah sebuah mimpi. Namun, ia percaya bahwa mimpinya itu akan menjadi kenyataan di kemudian hari sesuai dengan doa ayahnya yang masih tetap mendengung di telinganya.
Dengan diperoleh mimpi itu, Ia merasa segala letih yang ditimbulkan oleh perjalanannya menjadi hilang seolah-olah Ia memperolehi tenaga baru dan bertambahlah semangatnya untuk secepat mungkin tiba di tempat yang dituju dan menemui sanak-saudaranya dari pihak ibunya.
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/08/19/kisah-nabi-yaqub-dimusuhi-saudara-kembarnya-sendiri/