REPUBLIKA.CO.ID, Muharam merupakan salah satu bulan yang istimewa. Keutamaan bulan pertama dalam sistem penanggalan Hijriyah ini, terekam di sejumlah dalil Alquran ataupun hadis.
Surah at-Taubah ayat 36 menyebut Muharram termasuk empat bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Tak sedikit Muslim yang memutuskan untuk berpuasa penuh sepanjang bulan Suro dalam tradisi Jawa tersebut. Apa hukumnya?
Jalal bin Ali Hamdan as-Sulami menjawab pertanyaan ini dalam makalahnya yang berjudul Dirasat Ushuliyyah Haditsiyya li Shaum 'Asyura'. Ia mengungkapkan, para ulama sepakat boleh berpuasa sepanjang Muharram, dan hukumnya sunah. Bukan wajib. Pandangan ini disampaikan oleh Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i.
Pernyataan ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda, bahwa puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan, ialah puasa pada Muharram. Penekanan anjuran bertambah pada hari kesembilan, ke-10, dan ke-11 di bulan yang sama.
Dalam riwayat lain, memang Rasul juga dikisahkan tak pernah melewatkan puasa Sya'ban. Tetapi, Imam Nawawi menjelaskan, mengapa Rasul lebih tampak berpuasa Sya'ban dibandingkan Muharam. Menurut Imam Nawawi, bisa jadi ini karena beberapa faktor, misalnya keutamaan puasa Muharam itu terungkap di akhir hayatnya hingga ia belum sempat berpuasa atau karena ada uzur, seperti bepergian ataupun sakit.
Dalam kitab Lathaif al-Ma'arif, Ibnu Rajab al-Hanbali mengemukakan, hadis riwayat Muslim di atas, secara tegas menguatkan fakta bahwa puasa sunah setelah berpuasa wajib Ramadhhan, adalah puasa di empat bulan yang diutamakan. Kemungkinan, puasa yang dimaksud adalah berpuasa selama sebulan penuh.
Secara terpisah, anggota Dewan Ulama Senior Kerajaan Arab Saudi Syekh Muhammad Muhammad al-Mukhtar as-Syanqithi mengatakan, puasa yang utama setelah Ramadhan ialah berpuasa di bulan-bulan yang diharamkan asyhur al-hurum, terutama Muharram. “Dalilnya adalah riwayat Muslim,” ungkapnya.
Ia menambahkan, boleh hukumnya berpuasa sebulan penuh, atau selang-seling (sehari berpuasa sehari berikutnya tidak), atau berpuasa separuh bulan tersebut. Penekannya ialah pada hari ke-10 (asyura) dan kesembilan. Anjuran berpuasa di kedua hari tersebut, landasannya sangat kuat.
Syekh as-Syanqithi tidak setuju dengan penolakan sejumlah kalangan atas berpuasa sebulan penuh sepanjang Muharram oleh sebagian kalangan. Sebab, Rasul menganjurkan berpuasa di bulan itu. “Penolakan itu tidak tepat,” katanya.
Maka, barang siapa yang berpuasa sebulan penuh, tak boleh dikecam dan dituding macam-macam. Sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala. Pendapat ini juga menjadi ketetapan fatwa yang dikeluarkan oleh Komite Tetap Kajian dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.